(Tinjaun
Antropologis terhadap unsur Kepercayaan dalam masyarakat)
1. Pendahuluan
Kemampuan otak manusia
untuk membentuk gagasan-gagasan dari konsep-konsep dalam akalnya menyebabkan
bahwa ia mampu membayangkanan dirinya sendiri terlepas dari lingkungannnya,
yang merupakan dasar dari kesadaran akan identitas dan kepribadian dirinya.
Berbagai jenis hewan juga memiliki identitas diri, namun kesadaran akan identitas
itu tidaklah setajam manusia, karena dangan akalnya manusia memiliki kemampuan
untuk membayangkan peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya, baik yang
membahagiakannya maupun yang dapat membawa kesengsaraan baginya. Sesuatu hal
yang paling ditakuti manusia adalah apa yang pasti akan dialaminya, yaitu saat
manusia menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu sebab timbulnya
religi.
Sekurangnya ada dua
konsep umum yang menerangkan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan atau sesuatu
yang dianggap Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi.
Koentjaraningrat (1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di
Indonesia, mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan;
dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih
menghindari istilah ‘agama’ , dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral,
yaitu ‘religi’. Ada juga yang berpendirian bahwa suatu sistem religi merupakan
suatu agama,tetapi itu hanya berlaku bagi penganutnya saja; sistem religi Islam
merupakan agama bagi anggota umat Islam, sistem religi Hindu Dharma merupakan
suatu agama bagi orang Bali; ada juga pendirian lain yang mengatakan bahwa
agama adalah semua sistem religi yang secara resmi diakui oleh negara.
Sebenarnya pendapat
Koentjaraningrat di atas yang mengatakan bahwa religi adalah bagian dari
kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang dikembangkan oleh
Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen,
yaitu:
1)
emosi keagamaan, sebagai suatu substansi
yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2)
sistem kepercayaan yang mengandung
keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan atau yang
dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib (supernatural);
3)
Sistem upacara religius yang
bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa atau Mahluk-mahluk halus
yang mendiami alam gaib;
4)
kelompok-kelompok religius atau
kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan tersebut.
Keempat komponen tersebut
sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain m menggerakkan jiwa manusia.
Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang terjadi apabila manusia
terhinggap oleh getaran jiwa tadi, agaknya belum banyak diteliti oleh orang-orang
yang berkepentingan tentangnya, namun demikianlah kira-kiranya keadaan jiwa
manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.
Terlepas dari pendapat
perorangan ataupun batasan-batasan tertentu yang ditetapkan sebuah negara
tentang konsep religi atau agama ini, yang jelas menurut konsep ilmu
pengetahuan dan agama-agama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu
bentuk aktifitas manusia yang dianggap sebagai suatu penyerahan diri terhadap
Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan kehidupan manusia di
dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang mengacu
kepada konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Tidak semua perilaku
keagamaan atau religi itu adalah khas manusia; untuk ajaran Kristen misalnya
bahkan hampir seluruh aktifitas keagamaan itu sumbernya adalah wahyu Tuhan, dan
hanya sedikit sekali unsur-unsur gagasan manusia disana, demikian juga dengan
agama-agama yang lain yang menganggap berbagai aktifitas itu sumbernya adalah
Tuhan. Disini agama itu dipisahkan dengan kebudayaan, pada aktifitas-aktifitas
tertentu yang tujuannnya adalah penyerahan diri (taat, bakti, doa, pemujaan,
penyembahan dan sebagainya) pada Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan,
walaupun ada gagasan-gagasan atau tangan-tangan manusia yang turut di dalamnya
merupakan aktifitas keagamaan; dilain fihak, segala bentuk tindakan, gagasan,
dan hasil tindakan khas manusia yang relatif tidak melibatkan unsur-unsur
keagamaan atau tidak dimaksudkan sebagai bentuk ritual tertentu, itulah
kebudayaan.
Sebelum diuraikan lebih
lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan religi, perlu ditekankan
terlebih dahulu tentang penggunaan peristilahan, dan pendekatan dalam studi
tentang religi ini. Untuk peristilahan, dalam artikel ini selanjutkan lebih
banyak menggunakan istilah religi sebagai terjemahan dari religion daripada
istilah agama, karena istilah agama bagi banyak orang Indonesia mempunyai arti
tertentu seperti agama Islam atau Nasrani misalnya.
Studi tentang religi yang
dikembangkan adalah merupakan tinjauan antropologis, dimana ilmu tentang
manusia ini sebagai ilmu yang mencoba merumuskan pengertian-pengertian dan
konsepnya melalui penyelidikan yang empiris, dan obyek-obyek yang akan
diselidiki terutama adalah tingkah laku dan tatakelakuan manusia. Dengan
mengadakan studi komparatif, antropologi mencoba memahami asal usul tentang
religi, fungsi religi, keberadaan, persebaran, dan pengaruhnya dalam kehidupan
manusia.
2.
Teori
religi dalam kehidupan manusia terdahulu
Edward B Tylor (1873),
dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori tentang jiwa;
dikatakannya asal mula religi itu adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau
soul, kesadaran mana yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal:
1) perbedaan
yang tampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati;
suatu mahluk pada satu saat dapat bergerak-gerak, berbicara, makan, menangis,
berlari-lari dan sebagainya, artinya mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi
pada saat yang lain mahluk itu seolah-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa,
tidak ada tanda-tanda gerak pada mahluk itu, artinya makluh itu telah mati.
Demikian lambat laun manusia mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup
itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani, dan
kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagi jiwa.
2) Peristiwa
mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada
tempat tidurnya. Demikian, manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya
yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke
tempat-tempat lain; bagian lain itulah hyang disebut sebagai jiwa
Sifat abstrak dari jiwa
tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung,
lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih berangkutan dengan tubuh
jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu
manusia tidak sadarkan diri (pingsan). Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan
hidup pergi melayang-leyang, maka tubuh berada dalam keadaan yang lemah. Namun
menurut Tylor. Walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat
seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang manusia mati,
jiwa itu pergi melepaskan diri dari hubungan tubuh-jasmani untuk
selama-lamanya.
Dengan
peristiwa-peristiwa di atas nyata terlihat, kalau tubuh-jasmani sudah hancur
berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti abu didalam api
upacara pembakaran mayat, maka jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu
dapat berbuat sekehendak hatinya. Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini
penuh dengan jiwa-jiwa yang merdeka, dan tidak disebut sebagai jiwa lagi,
tetapi dikatakan sebagai mahluk halus atau spirit; demikian pikiran manusia
telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi kepercayaan
kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat tertua di
dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus itulah yang
menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi,
yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap bertubuh halus
sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindera manusia, yang mampu berbuat
hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, mendapat suatu tempat yang
amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek penghormatan,
pemujaan, dan penyembahannya, dengan berbagai upacara keagamaan berupa doa,
sajian atau korban. Pada tingkat religi semacam ini disebut sebagai animism.
Pada tingkat kedua di
dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga disebabkan
oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu;
sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang
meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu, matahari yang
menerangi bumi, berseminya tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya semuanya disebabkan
oleh jiwa alam; dalam perkembangannya kemudian, jiwa alam ini
dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia sebagai mahluk-mahluk dengan suatu
kepribadian, pikiran, dan kemauan. Mahluk-mahluk halus yang ada di belakang
gerak alam serupa ini disebut dengan Dewa-dewa alam.
Pada tingkat ketiga dalam
evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam kehidupan
masyarakat, timbul pula kepercayaan bahwa alam Dewa-dewa itu juga hidup di
dalam suatu susunan seperti kenegaraan di atas, serupa dengan kehidupan
manusia; dengan demikian seolah-olah ada suatu susunan pangkat Dewa-dewa mulai
dari raja Dewa sebagai Dewa yang tertinggi, sampai dengan dewa-dewa yang
terendah. Suatu susunan seperti itu lambat laun akan menimbulkan suatu
kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja
dari satu dewa yang tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya
kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama monotheisme.
Teori-teori
agama pada kehidupan manusia kemudian
Teori-teori lain yang
berkenaan dengan asal mula religi itu, atau dasar-dasar kepercayaan manusia
yang menganggap adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, dan
bentuk-bentuk usaha manusia yang mencari hubungan dengan kekuatankekuatan itu
telah menjadi perhatian menarik dari orang-orang tertentu, terutama dari
kalangan antropologi; teori-teori itu mencakup:
3.1.
Teori Batas Akal
Teori religi tentang
batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890) yang berpedoman bahwa
manusia dalam kehidupannya senantiasa memecahkan berbagai persoalan hidup dengan
perantaraan akal dan ilmu pengetahuan; namun dalam kenyataannya bahwa akal dan
sistem pengetahuan itu itu sangat terbatas sekali. Makin maju kebudayaan
manusia, makin luas batas akal itu, tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal
manusia masih amat sempit. Persoalan hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan
akal, dicoba dipecahkannya dengan melalui magic, ialah ilmu gaib.
Magic diartikan sebagai
segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan
yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya;
pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala
persoalan hidup yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya.
Religi waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa
banyak dari perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka
pada saat itu orang mulai percaya bahwa alam itu didiami oleh mahlu-mahluk
halus yang lebih berkuasa darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan
dengan mahluk-mahluk halus yang mendiami alam itu, dan timbullah religi.
Menurut
Frazer, memang ada suatu
perbedaan yang besar antara magic dan religi; magic adalah segala sistem
perbuatan dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan
mempergunakan kekuatan dan hkum-hukum gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya,
religi adalah segala sistem perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud
dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus
seperti ruh-ruh, dewa, dan sebagainya.
3.2.
Teori masa Krisis Dalam Hidup Individu
Pandangan tentang
masa-masa krisis ini disampaikan oleh M. Crawley (1905) dan A.Van Gennep
(1909); menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia
mengalami banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian dan dianggap
sebagai suatu yang menakutkan. Bertapapun bahagianya hidup orang, entah sering
atau jarang terjadi bahwa orang itu akan ingat akan kemungkinan-kemungkinan
timbulnya krisis dalam hidupnya; krisis –krisis itu terutama berupa
bencana-bencana sekitar sakit dan maut (mati), suatu keadaan yang sukar bahkan
tidak dapat dikuasai dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau harta benda kekayaan
yang mungkin dimilkinya.
Dalam jangka waktu hidup
manusia, ada berbagaimasa dimana kemungkinan adanya sakit maut ini besar
sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke
dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut
masamasa itu sebagai crisis rites
atau rites de passage. Dalam
menghadapi masa krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk
memperteguh imannya dan menguatkan dirinya; perbuatan-perbuatan serupa itu,
yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah yang merupakan pangkal
dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.
3.3.
Teori Kekuatan Luar Biasa
Pendirian ini
dikemukakakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett; (1909)
salah satu dasar munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori
religi yang dikemukakanoleh E.B. Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia
akan jiwa; menurut Marett, kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlalu
kompleks bagi pikiran manusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan
kehidupannya di muka bumi ini. Menurut Marett, pangkal daripada segala kelakuan
agama ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa dalam kehidupan manusia. Alam,
tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal, yang dianggap oleh
manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan
yang telah dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural.
Gejala-gejala, hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggap
akibat dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan
sakti.
Adapun kepercayaan kepada
suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal, dan
peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai suatu
kepercayaan yang ada pada mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk halus
dan ruh; dengan perkataan lain, sebelum ada kepercayaan animisme maka ada satu
bentuk kepercayaan lain yang oleh Marett disebutnya sebagai praeanimisme.
3.4.
Teori Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini berasal dari
seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis, Emile Durkheim
(1912), pada dasarnya sama dengan R.R. Marett adalah menyanggah teori religi
yang dikemukakan oleh Tylor; serupa dengan celaan Marett tersebut di atas,
beliau beranggapan bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan kebudayaan
itu belum dapat menyadari suatu paham abstrak ‘jiwa’, sebagai suatu substansi
yang berbeda dari jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa manusia
pada masa itu belum dapat menyadari faham abstrak yang lain seperti tercobaan
dari jiwa menjadi ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati.
Mendasari celaan terhadap teori animisme Tylor itu maka beliau menyatakan suatu
teori baru tentang dasar-dasar religi yang sama sekali berbeda dengan
teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori itu
berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:
1) Mahluk
manusia dalam kala ia baru timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitas religi
itu tidak karena ia mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayangan
abstrak tentang jiwa, ialah suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di
dalam alam, tetapi karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang
timbul di dalam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen
kemasyarakatan.
2) Sentimen
kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan
yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya, terhadap
masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup.
3) Sentimen
kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya
merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak
selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka
sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan laten, sehingga perlu dikobarkan
kembali. Salah satu cara untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan
adalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat, artinya dengan
mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa yang
bernuansa religious.
4) Emosi
keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu
objek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadi
objek daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula
sifat anaehnya, bukan sifat megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan
anggapan umum dalam masyarakat. Obyek itu salah sesuatu peristiwa kebetulan di
dalam sejarah daripada kehidupan sesuatu masyarakat di dalam waktu yang lampau
menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Objek yang menjadi tujuan
emosi keagamaan itu juga mempunyai objek yang bersifat keramat, bersifat sacre
(sakral), berlawanan dengan objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan
(ritual value) itu, ialah objek yang tak keramat atau profane.(profan).
5) Objek
keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada sukusuku
bangsa asli benua Australia misalnya, objek keramat, pusat tujuan daripada
sentimen-sentimen kemasyarakatan, sering juga sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan,
tetapi sering juga objek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana objek
keramat itu disebut totem (jenis binatang atau lain objek) itu mengkonkritkan
prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu
kelompok tertentu di dalam masyarkat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian
tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan,
adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti
daripada tiap religi; sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi
masyarakat, kesadaran akan objek keramat berlawanan dengan objek tak-keramat,
dan totem sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada
inti. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara,
(b) kepercayaan dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan
bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat tertentu.
Susunan tiap masyarakat
dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang berbedabeda ini telah menentukan
adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaanya tampak lahir pada
upacara, kepercayaan, atau mitologinya.
4.
Agama dalam konteks wahyu Tuhan
Disamping tinjauan ilmiah
yang dilakukan antropologi terhadap manusia, terdapat pula tinjauan lain
terhadap manusia ini, yaitu tinjauan agama. Berbeda dengan tinjauan ilmiah yang
berpangkal pada pengamatan empirik, maka tinjauan agama terhadap manusia ini
berpangkal pada kepercayaan, kepada dogma-dogma, dan memberikan penafsiran pada
dogma-dogma tersebut sesuai dengan ketetapan-ketetapan lainnya, yang tidak
diragukan lagi kebenarannya.
Dilihat dari sudut
asal-usul manusia misalnya, agama-agama besar khususnya agama Islam dan agama
Nasrani agama-agama yang relatif tradisional, mengatakan bahwa manusia itu
diciptakan sekali saja oleh Tuhan dan umat manusia yang ada sekarang ini adalah
keturunan dari manusia yang pertama itu. Dalam rangka peninjauan tersebut,
manusia berbeda dengan mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya; manusia berbeda
secara hakekat dan secara prinsip dengan hewan. Seorang ahli antropologi, Ralph
Linton (1984), mengatakan bahwa apabila kita membuat perbandingan antara
tinjauan agama dengan tinjauan ilmiah terhadap keberadaan manusia, memang
masing-masing berbeda tetapi bukan berarti bertentangan.
‘Prediksi’ asal mula
manusia dari bentuk yang sangat sederhana sampai bentuk yang sempurna seperti
sekarang ini. Teori evolusi manusia yang pernah menggemparkan dunia ini
akhirnya runtuh juga, salah satu sosok yang meruntuhkannya adalah serangan dari
para agamawan yang menolak bahwa manusia pertama yang digambarkannya tidak
mungkin serendah itu, manusia adalah manusia, bukan mahluk lain.
Bila kita lihat lebih
dalam lagi, kita akan mengetahui bahwa tinjauan ilmu pengetahuan tentang
evolusi asal mula manusia, semata-mata merupakan penyelidikan tentang mekanisme
penciptaan; ajaran evolusionisme struktural dengan pengamatannya dapat
memetakan berbagai bentuk-bentuk baru yang secara biologis memang mungkin
terjadi dan mengalami perubahan; tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menetapkan
kekuatan-kekuatan apakah yang menyebabkan adanya perkembangan evolusi dari
seluruh mahluk hidup, selain ketidak mampuannya untuk meramalkan arah daripada
perubahan-perubahan itu. Ilmu pengetahuan dapat membuktikan bahwa kehidupan
yang asal-usulnya tidak diketahui itu berkembang dari bentuk yang sederhana
menjadi yang lebih kompleks, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan
secara empirik Penggerak pertama dari segala perubahan itu, ilmu pengetahuan
juga tidak dapat menguraikan tentang Prima Causa dari segala yang hidup.
Apabila ilmu pengetahuan
bertugas untuk tetnang kenyataan dan keadaan kehidupan sebagaimana adanya
sekarang dan di masa lalu, maka tugas agama atau religi adalah untuk
menunjukkkan bagaimana manusia itu harus hidup. Dalam hubungan ini Mohammad
Hatta mengemukakan mengenai hubungan antara ilmu dan agama, bahwa memang ada
berlainan keinsafan antara ilmu dan agama , tetapi bukan berarti bertentangan,
lingkup ilmu yaitu berkisar mengenai pengetahuan yang pelitanya terletak di
otak manusia, sedangkan agama adalah soal kepercayaan yang pelitanya terletak
di hati.
Di Indonesia, dimana
landasan kehidupan sosial, budaya , dan kenegaraan adalah Pancasila,di mana
tiap-tiap anggota masyarakat dapat memeluk agama-agamanya sendiri, orang bebas
bertanya sepanjang pertanyaan itu tidak mengingkari ajaran-ajaran agama. Di
dalam agama inilah emosi manusia menemui muara kebebasan, dan sebagai manusia
yang beriman kita percaya bahwa seluruh alam semesta ini dengan hukum-hukum alamnya
yang ada dan masih dicari-cari oleh manusia, semua adalah kreasi dari Tuhan
Yang Mahaesa; bahwa dibelakang segala fenomena alam ini terdapat Maha Penggerak
yang tidak digerakkan, Gaya Ghaib, Prima Causa, dan kita memandang isi alam
semesta ini sebagai menifestasi kebesaran Tuhan.
Dalam konteks
antropologi, teori Firman Tuhan pada mula-mulanya berasal dari seorang sarjanan
antropologi bangsa Austria bernama W.Schmidt (1913); Sebelum Schmidt,
sebenarnya ada sarjana lain yang pernah mengajukan juga pendirian tersebut,
yaitu seorang ahli kesusateraan bangsa inggris, bernama A.Lang (1889).
Sebagai ahli
kesusasteraan, Lang telah banyak membaca tentang kesusasteraan rakyat dari
banyak suku di dunia. Di dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan
adanya seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa bersangkutan di anggap
dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta serta isinya, dan penjaga
ketertiban alam dan kesusilaan. Kepercayaan kepada seorang tokoh dewa serupa
itu menurut Lang terutama tanpak pada suku-suku bangsa yang amat rendah tingkat
kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu atau meramu, ialah misalnya
suku-suku bangsa yang berburu di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan, yang
biasanya disebut orang Bushman, suku-suku bangsa asli benua Australia,
suku-suku bangsa Negrito di daerah hutan rimba di Kamerun dan Kongo, Afrika
Tengah, penduduk kepulauan Andaman, penduduk Pegunungan Tengah di Irian Timur,
dan juga beberapa bangsa penduduk asli Benua Amerika Utara.
Berbagai hal membuktikan
bahwa kepercayaan itu tidak timbul sebagai akibat pengaruh agama Nasrani atau
Islam, sebagai dua agama besar yang menyebar di seluruh dunia, maka kepercayaan
tadi malahan tampak seolah-olah terdesak kebelakang oleh kepercayaan kepada
mahluk-mahluk halus, dewa-dewa, ruh, hantu dsb. A.Lang berkesimpulan bahwa
kepercayaan kepada dewa tertinggi adalah suatu kepercayaan yang sudah amat tua,
dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua. Angapan A.Lang terurai
di atas, tak lama kemudian di olah lebih lanjut oleh W.Schmidt. Tokoh besar
dalam antropologi ini adalah gurubesar pada satu perguruan tinggi yang pusat
mula-mulanya di Australia, kemudian di Swiss, umtuk mendididk calon-calon
pendeta penyiar agama katholik dari organisasi Societas Verbi Devini. Di dalam
kedudukan serupa itu maka mudah dapat dimengerti bagaimana anggapan bahwa
adanya kepercayaan kepada dewa-dewa tertinggi di dalam alam jiwa bangsa-bangsa
yang masih amat cocok dengan dasar-dasar cara befikir W.Schmidt dan juga dengan
filsafatnya sebagaia orang pendeta agama Katholik.
Di dalam hubungan itu
beliau percaya bahwa agama itu berasal dari titah Tuhan yang diturunkan kepada
mahluk manusia pada masa permulaan ia muncul di muka bumi ini. Karena itulah,
adanya tanda-tanda daripada suatu kepercayaan kepada dewa pencipta. Justru
kepada bangsa-bangsa yang lebih rendah tingkat kebudayaanya (artinya yang
paling tua menurut Schmidt) memperkuat anggapanya mengenai adanya Titah Tuhan
asli, atau yang disebutnya sebagai Uroffenbarung. Demikianlah kepercayaan yang asli
yang bersih kepada Tuhan, atau kepercayaan Urmonotheismus tadi itu malahan ada
pada bangsa-bangsa lain yang tua yang hidup pada zaman ketika tingkat
kebudayaan manusia masih rendah. Di dalam zaman kemudian, ketika makin maju
kebudayaan manusia, maka makin kaburlah kepercayaan asli terhadap Tuhan; makin
banyak kebutuhan manusia, makin terdesaklah kepercayaan asli itu oleh pemujaan
kepada mahluk-mahluk halus, roh, dewa dsb.
Angapan Schmidt terurai
diatas dianut oleh beberapa orang sarjana yang untuk sebagian besar bekrja
sebagai penyiar agam Nasrani dan organisasi societas verbi Divini. Disamping
menjalankan tugas sebagai penyiar agama Nasrani di dalam berbagai daerah di
muka bumi, mereka melakukan penelitian-penelitian antropologi budaya
berdasarkan atas anggapan-anggapan pokok daripada guru mereka. Demikian antara
lain, sarjana-sarjana itu mencari di dalam kebudayaan-kebudayaan di daerah
mereka masing-masing akan adanya tanda-tanda suatu kepercayaan kepada dewa
tertinggi.
Daftar
bacaan:
Anderson, O’C, Benedict R-Nakamura, Mitsou-Slamet,
Mohammad. (1996). Religion Social Ethos-Agama dan etos sosial di Indonesia
(terj.), penerbit PT Alma Arif Bandung.
Boelaars, Y. (1984). Kepribadian Indonesia Modern,
Suatu Peelitian Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia
Geertz, Clifford. (1989). Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa. (terj.). Jakarta. PT Dunia Puataka Jaya.
Harsoyo. (1999). Pengantar Antropologi; Bandung:
Penerbit Putra A Bardin Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan, Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Koentjaraningrat. (1990). Beberapa Pokok Antropologi
Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat
Kuper, Adam. (1996). Pokok dan Tokoh Antropologi,
Mazhab Inggris Modern. (terj.). Jakarta. Penerbit Bhratara
Leahy, Louis. (1984). Manusia, Sebuah Misteri, Sintesa
Filosofis Tentang Mahluk Paradoksal; Jakarta: PT Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar