Atikel
ini ingin menelusuri dan mencari jawaban tentang pertanyaan seberapa jauh
revolusi merealisasikan transformasi structural dan cultural. Selain itu
dipertanyakan sebarapa besar peranan sentral tokoh-tokoh revolusioner dalam
menyusun strategi perjuangannya guna tercapainya kebebasan (freedom) dan
kebersamaan? Artikel ini juga ingin menemukan bagaimana pula peran rakyat kecil
(wong cilik) atau rakyat kebanyakan (grassroot) dalam revolusi itu, baik yang
berdomisili di kota maupun di pedesaan?. Dari beberapa pertanyaan itu dapat
ditelusuri bahwa tokohtokoh revolusioner sebagai “motor penggerak” revolusi,
setidaknya dapat dipetakan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, revolusi yang
bersifat nonkooperatif radikal, dengan tokohnya Tan Malaka; dan kedua, revolusi
yang bersifat kooperatif-moderat, yang tokohnya adalah Soekarno, Hatta dan
Syahrir. Pendekatan yang dilancarkan oleh golongan yang pertama lebih memilih
perombakan masyarakat secara total dalam segala dimensi kehidupannya yang
meliputi politik, ekonomi, social, budaya, sementara golongan yang kedua lebih
suka memakai jalur diplomatik dengan tetap mempertahankan hal-hal “warisan
lama” yang dipandang masih perlu dilestarikan. Revolusi sebagai sebuah wacana
actual di tengah kemelut kebangsaan pasca kemerdekaan pada mulanya hanya terasa
di kota-kota pusat pendudukan sekutu. Tidak demikian di pedesaan, Namun karena
demikian dahsyatnya “getaran” wacana revolusi tersebut, pada gilirannya
desa-desa di pedalaman pun ikut andil di dalam pergolakan-pergolakan local.
Kata
Kunci: Revolusi, Sejarah, Tokoh
A. Pendahuluan
Potret revolusi Indonesia sebagai sebuah
proses sejarah memiliki makna yang signifikan bagi upaya penataan kehidupan
masyarakat yang pluralis dalam bingkai Negara yang demokratis. Karena sejarah,
demikian Sartono Kartodirdjo, seorang pakar sejarah, merupakan “suatu dialog
antar masa kini dan masa lampau”,1 yang dijadikan dalam melangkah ke masa depan
yang lebih baik. Dalam konteks Indonesia, wajah revolusi itu setidaknya
meliputi dua kategori, yaitu revolusi nasional2 (baca: politik) dan revolusi
social.3 Yang secara substansial merupakan proses perwujudan transformasi
structural dan cultural secara radikal, mendadak dan berskala besar menuju
kehidupan yang merdeka dan demokratis.
Berpijak dari konsepsi tersebut,
pertanyaan yang pantas diajukan bagi revolusi Indonesia adalah seberapa jauh
revolusi tersebut “mampu dan berani” merealisasikan transformasi structural dan
cultural sekaligus, in-case perubahan dari struktur feodalisme (Prancis
Feodalite) ke struktur egalitarianism dan demokratis. Sehubungan dengan konsep
feodalisme dalam masyarakat Indonesia, menurut Fachry Ali, tidak sempat ada
feodalisme lebih merupakan pengalaman social-ekonomi, politik dan budaya
tipikal masyarakat Eropa daripada suatu fenomena universal. Kendatipun secara
konseptual tidak ditemukan pada wacana kebahasaan, namun dalam konteks historis
hal itu ditemukan dengan dijajahnya Indonesia oleh Belanda selama kurang lebih
tiga setengah abad (350 tahun).
Untuk dapat melihat lebih tajam persoalan
tersebut, perlu juga dipertanyakan sebarapa besar peranan sentral tokoh-tokoh
revolusioner dalam menyusun strategi perjuangannya guna tercapainya kebebasan
(freedom) dan kebersamaan? Selain pertanyaan pokok tersebut, bagaimana pula
peran rakyat kecil (wong cilik) atau rakyat kebanyakan (grassroot) dalam
revolusi itu, baik yang berdomisili di kota maupun di pedesaan? Dari ketiga
pertanyaan di atas, diharapkan tidak sekedar ditemukannya makna-makna besar
yang bersembunyi dari fenomena historis yang masih gelap itu, melainkan juga
makna-makna baru yang selama ini “tidak dipikirkan” meminjam istilahnya
Mohammed Arkoun, pemikir Islam kontemporer asal Al-Jazair – oleh sejarawan.
Lebih-lebih pelacakan fenomena historis ini melalui pemikiran kritis dan
mendalam (baca: filsafat sejarah).
B. Melukiskan
Wajah Revolusi: Sebuah Perspektif
Secara konseptual, diakui atau tidak,
revolusi sering dipahami sebagai: proses untuk mewujudkan terjadinya
transformasi structural dan cultural secara cepat, radikal, dan total di
tengah-tengah masyarakat yang tertindas, baik dalam tataran politik maupun
social. Yang mainstream utamanya adanya perubahan struktur feudal-kolonial
menjadi struktur demokratis. Dalam konteks kebahasaan, lawan istilah revolusi
ini adalah evolusi, yaitu perubahan secara pelan, bertahap dan kontinu.
Revolusi sebagai sebuah wacana actual di
tengah kemelut kebangsaan pasca kemerdekaan (baca: pasca proklamasi 1945), pada
mulanya hanya terasa di kota-kota pusat pendudukan sekutu. Sementara di daerah
pedesaan boleh dikatakan perjuangan telah selesai lantaran di desa merasa tidak
langsung bersentuhan dengan agresi militer asing.Namun karena demikian
dahsyatnya “getaran” wacana revolusi tersebut, pada gilirannya desa-desa di
pedalaman pun ikut andil di dalam pergolakanpergolakan local.
Dalam perspektif masyarakat awam (wong
cilik), revolusi yang terjadi pasca kemerdekaan itu tidak hanya ditujukan
kepada pengenyaha (pelenyapan) kekuasaan asing yang despotis, melainkan juga
pengenyahan kepada sisa-sisa colonial yang tercermin pada pegawai-pegawai dan
swapraja, yang sejak dulu menjadi antek-anteknya pemerintah jajahan. Pandangan
ini tidak dapat disalahka, karena masyarakat kecil merasa dijajah, bukan hanya
oleh bangsa asing, malah oleh “oknum” bangsa sendiri yang bertingkah
feodalis.Dengan kata lain, cakupan wilayah revolusi tidak hanya bersifat
eksternal (terhadap kekuatan asing), malah juga bersifat internal (terhadap
kekuasan pribumi yang despotis).
Gerakan yang dilancarkan oleh
daerah-daerah itu pada umumnya menyerang penguasa setempat, aristokrasi,
bangsawan, pamong praja yang dipandang sebagai golongan konservatif-reaksioner,
kolaborator dari penguasa dan penjajah, atau sebagai establishment yang secara
a priori dianggap sebagai anti revolusi serta demokrasinya. Untuk meminjam
istilah kontemporer, golongan elite itu “didaulat”.
Artikulasi revolusi, bagi kelompok
ekstrem, tidaklah cukup manakala perubahan itu sebatas persoalan-persoalan
structural an sich, hal ini dilandasi dari konsep revolusi itu sendiri yang
mengharapkan terjadinya perombakan secara totalitas yang diikuti dengan
perombakan administrasi yang dahulu pernah ditinggalkan penjajah, Belanda dan
Jepang misalnya. Tegasnya, artikulasi dari revolusi ini mesti meliputi
multidimensional. Bahkan “tenaga-tenaga professional” sekalipun, yang dahulunya
dipandang sebagai kaki tangan “pemerintah penjajah”8 mesti diganti, kendatipun
pergantian itu dilakukan secara bertahap dan berangsurangsur. Hal ini
dimaksudkan untuk menghilangkan “warna status quo”. Kalau dapat dipercepat,
maka dalam bentuk pembubaran, seperti halnya di Jakarta berkaitan dengan
detasemen polisi. Alasan yang pantas dikemukakannya adalah, sekalipun Negara
baru mendapatkan momennya untuk menata kehidupan clean government, namun bukan
berarti mesti menggunakan “tangan-tangan lama” yang dipandang kotor, melainkan
bagaimana memakai ahli-ahli yang walaupun sedikit tetapi mendapat kepercayaan
rakyat.
Sebagai bukti ketidakpuasan daerah, rakyat
pada umumnya, terhadap struktur feudal itu tercermin dari sikap-sikap “beringas
dan kejam” yang muncul di beberapa daerah, seperti pemberontakan yang terjadi
di Pekalongan dan Sumatra Timur. Penyebab utama dari kekacauan di kalangan masyarakat
bawah itu lebih disebabkan kondisi nasional yang sedang diliputi kekacauan
politik akibat agresi militer asing, ditambah lagi belum ada reaksi dari figure
nasional yang bertanggung jawab atas gejala tersebut. Akhirnya gejala
ketidakpuasan pun terus merambah ke daerah lain seperti Aceh, Banten, Jakarta,
Priangan, dan Surakarta. Tatkala kehidupan bangsa semakin diambang kehancuran
dengan maraknya pergolakan-pergolakan daerah, Soekarno-Hatta sebagai bapak
bangsa pun tidak mau tinggal diam. Mereka berdua menyadari bila “gelombang
revolusi” ini dibiarkan berlarut-larut, maka hanya akan membawa pada
instanbilitas nasional yang berkepajangan. Sebagai respon atas setting
sosio-politik tersebut, Soekarno-Hatta mengeluarkan maklumat yang isinya
sebagai berikut:
“…kami tidak mengizinkan masyarakat
bertindak sendiri-sendiri. Segala tindakan yang bercorak Nazi dan fasis harus
dibuang… Untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional…, kita sanggup
menjamin berlakunya dasar-dasar peri kemanusiaan sebagai sumber daripada
keadilan social… Negara kita adalah Negara hukum berdasar kepada kedaulatan
rakyat, dan kedaulatan rakyat bukanlah anarkhi…
…hanya pemerintahlah yang berhak
menjalankan hukuman dengan perantara mahkamahnya… Pemerintah republik Indonesia
sedang berusaha menyusun secapatcepatnya Tentara Keamanan Rakyat untuk
menanggung keamanan rakyat dalam negri…
“…perbedaan faham tidak boleh menjadi
sebab yang satu golongan menangkap dan menawan lawannya pada tempat yang tidak
diketahui, karena hal ini bisa menimbulkan perpecahan antara kita dan mungkin
menimbulkan perang saudara.”
Dareah-daerah yang dapat dipandang belum
secara tegas mengikuti instruksi tokoh bangsa itu antara lain Jawa Barat
(Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan), Pekalongan, dan Sumatera Timur. Di Banten
khususnya, gerakan revolusi terhadap tatanan internal daerah semakin intensf
dan sporadic yang dipelopori kaum ulama (Kyai).Melalui revolusi itu, akhirnya
para kyai memiliki peran penting dalam jajaran pemerintahan, seperti halnya
Kyai Khotib, menjabat residen dan Kyai Samiun menjabat Bupati Serang.Sementara
pejabat-pejabat lama yang pada umumnya berasal dari Priangan itu mudik, bahkan
ada yang dipenjara.Fenomena ini memberikan keunikan tersendiri bagi Banten yang
para pejabatnya secara umum tidak memiliki pengalaman sebagai birokrat.
Realitas tersebut semakin diperparah
dengan tampilnya “bapak rakyat”, baik di Banten dikenal Ce Mamat maupun di
Tangerang dikenal Kyai Akhmad. Tampilnya “bapak rakyat” di tengah-tengah
masyarakat daerah ini sebagai obat atas kerinduan akan keadilan atas system
feodalisme. Rakyat lebih patuh terhadap policy mereka ketimbang instruksi
pemerintah yang masih dianggapnya sebagai “kaki tangan” pemerintah penjajah. Dari
paparan tersebut jelaslah bahwa sebuah konsep yang sama, revolusi misalnya,
bila ditinjau dari perspektif yang berbeda dan kalaupun lewat perspektif yang
sama, namun dengan latar belakang sosio-kultural yang berbeda, maka pemaknaan
dan interpretasi terhadap konsep itupun menjadi berbeda pula. Seperti halnya “perbedaan
interprestasi” antara masyarakat awam dan kelompok ekstrem dalam memaknai revolusi.
C. Wajah Revolusi
dan Tokoh Revolusioner
Sebagai sebuah proyek besar, revolusi
tidak dapat dipisahkan dari peran tokoh revolusioner, baik dari kalangan kaum
ulama (agamawan) maupun kalangan intelgensia. Para tokoh revolusioner yang
dimotori oleh para kyai pada umumnya mengambil tempat di daerah-daerah,
sementara di kota-kota besar, terutama kota pusat pemerintahan dipelopori oleh
kaum intelgensia, seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta dan Syahir.
Tampilnya kaum intelgensia di tengah
kemelut bangsa memiliki peran penting.Mereka memegang peran kunci dan
strategis.Kedudukan sosio-historisnya juga memberikan ruang gerak social,
cultural, dan politik, melawan batasan-batasan masyarakat colonial yang
diskriminatif, selanjutnya mampu menemukan identitasnya kembali dan
mengkonseptualisasikan Indonesia sebagai nation.Dengan ideology nasionalisme
dapat digerakkan sebagai gerakan social untuk merealisasikan tujuan
perjuangan.Terlebih status golongan intelgensia yang tidak homogeny, berakibat
bagi beragam aliran politik, dari yang radikal sampai yang moderat, koperatif
dan non-koperatif, elitis dan populis, dan sebagainya.
Sebagai tokoh legendaries revolusioner,
Tan Malaka seringkali dalam menjalankan roda revolusinya melakukan penyamaran
untuk menghindari, sekaligus mengelabui spion (intel) colonial yang pernah mengerjar-mengejarnya.
Lantaran demikian agungnya perjuagan Tan Malaka bagi perjuangan negaranya, sehingga
salah satu Koran, the tribun, mensejajarkannya dengan patriot Filipina angkatan
Josh Rizal, dan oleh Karen itu merupakan simbol yang jelas dari “pergerakan
nasionalis Jawa”.
Watak legendaris dari Tan Malaka ini
terlihat dari upayanya untuk menjadikan dirinya sebagai sumber konflik atau
kontroversi, bahwa seluruh hidupnya, termasuk kehidupan mentalnya, merupakan
pertarungan yang tak habis-habisnya. Di saat-saat genting sekalipun, ia masih
mampu melahirkan pemikiran-pemikiran jernih dan tawaran-tawaran konseptual yang
konstruktif. Atas usahanya yang tidak kenal lelah itu, pantaslah manakala ia
dikenal sebagai tokoh revolusioner, pemikir yang kreatif sekaligus seorang yang
idealis.
Sikap-sikapnya yang cenderung produktif
dan konsutif, demikin Rudolf Mrazek, adalah tipe masyarakat Minangkabau akhir
abad lalu atau permulaan abad ini (baca abad 20) yang mempunyai dinamisme dan
anti parokhialisme sebagai cirri khasnya.13Analogi ini terlihat dari perjuangan
masyarakat dengan pengalamannya yang memiliki perspektif, yang hingga kini
masih eksis, yakni adat dan falsafat Minangkabau yang senantiasa menyulut
konflik, namun tetap tegar dalam keunikannya.Sebagai sampel, tatkala terjadi
kontak antara adat dan Islam, maka adat masih dapat berdiri tegar dan
kokoh.Bila dilirik ke belakang, kenyataan ini didasari pada karateristik
masyarakat Minangkabau yang mampu menggunakan perspektif dinamisme dan
anti-parokhialisme.Fenomena tersebut diperkuat lagi dengan watak “rantau”-nya
yang dapat menumbuhkan sikap kritis, obyektif, toleran dan terbuka. Hal ini
seiring dengat falsafah hidup masyarakat Inggris ketika orang tua memberikat
wejangan kepada anak-anaknya, “if you know only English, you don’t know
English”.
Dengan demikian, pembentukan watak Tan
Malaka itu bukan hanya didasari factor hereditas semata, melainkan
karakteristik masyarakat juga menjadikannya sebagai tokoh yang kreatif dan
berwibawa. Ini tentunya sebagai hasil “perantauan yang panjang” dengan
kemampuannya menarik premis-premis minor dari masing-masing daerah yang pernah
dikunjunginya.
Keserasian watak Tan Malaka dan masyarakat
Minangkabau ini dapat dibuktikan dengan logika berpikirnya yang bertolak
belakang dari “thesis-anthitesis-syntesis”.Pemikiran Tan Malaka ini nampaknya
banyak diwarnai dialektiknya Hegel, bahkan mungkin Marxisme Leninisme. Hal ini senada
dengan prinsip hidupnya bahwa “kekuatan ide” (the power ideas) merupakan
perangsang perubahan. Melalui kekuatan idenya itu, ia ingin melenyapkan
imperialism dan mengikis habis sisa-sisa feodalisme. Di samping Tan, dikenal
juga tokoh revolusioner lain, seperti Soekarno. Sebagai tokoh yang dibesarkan
dalam kultur Hindu-Jawa yang kental – yang tidak disukai Tan Malaka, Soekarno
dapat juga disebut sebagai tokoh revolusioner dengan kemampuannya melahirkan
ide-ide berbobot dan berani. Salah satu maha karya pemikirannya yang original
dan jernih adalah “marhaenisme”. Di samping kedua tokoh tersebut, tokoh lain
yang dipandang memberikan kontribusi signifikan dalam revolusi Indonesia adalah
Syahrir. Berbeda dengan Tan yang berhaluan radikal, Syahrir lebih cenderung memilih
jalur diplomasi dalam revolusinya. Bagi Syahrir, dalam suasana yang kurang
mendukung bagi berlangsungnya Negara Indonesia dalam tataran internasional,
upaya revolusi demokratis sebagai senjata “ideologis”(ideological weapon)
sangat tepat dalam menumpas fasisme. Ia tidak menghendaki revolusi itu hanya
akan menjadi terorisme yang legal.
Dengan kata lain, jalur diplomasi akan lebih
ampuh ketimbang “mengangkat senjata”.
Dengan
tampilnya tokoh-tokoh revolusioner sebagai “motor pebggerak” revolusi,
setidaknya dapat dipetakan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, revolusi yang
bersifat non-kooperatif radikal, dengan tokohnya Tan Malaka; dan kedua,
revolusi yang bersifat kooperatif-moderat, yang tokohnya adalah Soekarno, Hatta
dan Syahrir. Pendekatan yang dilancarkan oleh golongan yang pertama lebih
memilih perombakan masyarakat secara total dalam segala dimensi kehidupannya
yang meliputi politik, ekonomi, social, budaya, sementara golongan yang kedua
lebih suka memakai jalur diplomatik dengan tetap mempertahankan hal-hal
“warisan lama” yang dipandang masih perlu dilestarikan.
D. Wacana Revolusi
dalam Kajian Filsafat Sejarah
Dalam konteks perkembangan suatu
masyarakat politik (political society), revolusi Indonesia sebagai instrumen
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban (baca: Civil Society)
dituntut memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan, baik secara fisik
maupun non fisik terhadap hegemoni imperialism. Upaya ini, dalam konteks
historis dikenal dengan “challenge and response”, sebuah konsep historis yang
dicetuskan oleh Arnold Toynbee.
Perlawanan fisik sebagai wujud keberanian
masyarakat Indonesia ini nampak dari gelombang pergolakan daerah yang dipicu
oleh para kyai pedesaan.Pergolakan daerah, yang disebut Sartono Kartodirdjo
sebagai “kontra revolusi”17 merupakan revolusi sosial. Pemicu dari revolusi
sosial tersebut adalah “penyempitan” ruang gerak kyai dalam struktur masyarakat
feudal.Akibatnya, melalui semangat jihad-nya, mereka secara tegas tidak hanya
punya keberanian moril untuk menentang penjajahan, tetapi juga didukung dengan
kemampuan material para tokohnya yang memiliki charisma yang tinggi di
tengah-tengah masyarakat.
Sementara perlawanan non fisik, lebih banyak
dilakukan para intelgensia, seperti Tan Malaka.Untuk membangun semangat juang
melawan penjajahan, Tan Malaka secara tegas menolak jalur diplomasi.Karena
jalur tersebut dianggap tidak dapat menuntaskan arti besar sebuah revolusi. Sebagai
sebuah gagasan, tentunya revolusi tidak akan bermakna apa-apa manakala tidak
dibarengi dengan tampilnya tokoh-tokoh revolusioner. Terealisasi atau tidaknya
sebuah gagasan ditentukan oleh kejelian dan kelihaian para tokoh revolusioner
dalam mencari “jembatan penyebrangan” bagi revolusinya. Tanpa jembatan yang
jelas, maka revolusi pun tidak sampai pada sasaran.
Bila ditilik secara seksama mengenai
berhasil atau tidaknya revolusi Indonesia, peling tidak ada dua cara pandang,
pertama, revolusi Indonesia dalam konteks diplomasi sebagaimana yang diharapkan
oleh Syahrir Cs terbilang berhasil. Ini terbukti dengan tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terlepas dari gangguan dunia
internasional setelah dilakukannya diplomasi; dan kedua, dari sudut revolusi
total seperti cara pandang Tan Malaka dengan terjadinya perubahan struktur
feudal secara total dapat dikatakan belum mencapai momennya. Adapun mengenai revolusi
sosial yang dilakukan para ulama tidak memiliki dampak berarti bagi transformasi
structural, paling-paling hanya menghapus beberapa lembaga tradisional-feodal,
seperti personalia kepamongprajaan.
Meskipun implementasi dari sebuah gerakan
revolusi itu diperhadapkan pada dua pilihan antara “berhasil dan tidak
berhasil”, namun revolusi Indonesia sebagai sebuah proses sejarah memiliki
nilai manfaat yang sangat besar bagi kajian Filsafat Sejarah. Karena dari fakta
sejarah tersebut dapat ditangkap pola-pola yang terjadi, tentang siapa yang
menjadi motor penggerak revolusi tersebut, sekaligus juga ingin melihat sejauh
mana sasaran yang dapat dicapai dalam perjuangan revolusi. Sebagaimana dikatakan
Hegel,18 bahwa sebuah peristiwa sejarah itu dapat diidentifikasi melalui tiga
unsure, pertama, pola, kedua, motor penggerak, dan ketiga, sasaran yang dituju.
Lebih lanjut Hegel katakan bahwa pengungkapan ketiga unsur dalam konteks
historis itu, dimaksudkan untuk mengetahui strukturstruktur terdalam dari
sebuah fakta sejarah.
Senada dengan Hegel, Taufik Abdullah,
pakar sejarah dari LIPI, mengatakan bahwa sejarah itu dapat dianalisis melalui
tiga kecenderungan pemikiran sejarah yang meliputi tiga hal, pertama, sejarah
semata-mata sebagai lambing bagi usaha masa kini; kedua, sebagai warisan yang
harus diikuti suri ketauladannya; ketiga, sejarah adalah sejarah (kejadian masa
lampau yang harus diteliti kebenarannya).
Bertolak dari tiga kecenderungan tersebut,
dapat dikatakan bahwa revolusi Indonesia yang terjadi pada tahun 1945 sampai
dengan 1949 yang lebih dikenal dengan revolusi fisik itu merupakan “sejarah
sebagai sejarah”, karena terdiri antara ruang dan waktu. Untuk membuktikan
kebenaran dari sebuah sejarah ini dapat dilakukan melalui kajian keotentikan
dan kreadibilitas sebuah fakta sejarah. Demikian halnya dengan keberlangsungan kemerdekaan
Indonesia sejak tahun 1945 hingga kini merupakan warisan “perjuangan” para
tokoh revolusioner, yang dipelopori oleh kaum intelgensia dan para ulama,
sekaligus masyarakat dengan semboyan jihad-nya. Sementara artikulasi “revolusi”
itu sendiri merupakn lambing perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang
imperialism.Perpaduan antara tokoh ulama dan intelgensia dalam menghadapi
struktur feodalis merupakan hubungan kebersamaan, yang dalam istilahnya
PJ.Zoetmulder adalah “ the political and
sacral aspects were inseparably linked together”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
revolusi merupakan artikulasi dari maha karya “pemikiran” manusia menuju
eksistensi dirinya sebagai makhluk yang bebas dan merdeka. Tampilnya
tokoh-tokoh revolusioner yang dipandang sebagai motor penggeraknya tidak lain bertujuan
membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu dan hegemoni penjajahan dengan
beragam bentuknya. Disadari atau tidak, sebuah fenomena historis itu sebuah
konsep baru yang membawa manfaat dan pelajaran (ibrah), terutama bagi masyarakat
atau ummat yang ingin menggali sejarahnya.
E. Penutup
Dari paparan di atas dapatlah disimpulkan
bahwa revolusi sebagai instrument perubahan total tidak serta merta membaw
perubahan baru yang diinginkan. Melainkan terkadang berjalan tidak sesuai
dengan “rel” yang telah direncanakan.Dalam kondisi yang sedang berkecamuk,
dalam rumus sejarah, dibutuhkan “tokoh ratu adil” yang dapat menjembatani
aspirasi kalangan bawah, sehingga terkristal menjadi kekuatan besar, terlebih
lewat gagasan-gagasan briliannya. Seperti dalam kajian filsafat sejarah, ide
besar akan membawa perubahan dalam sejarah kemanusiaan. Buktinya, ide-ide yang
dilontarkan Tan Malaka, Soekarno, Syahrir, dan ulama, telah membawa Indonesia
ke gerbang kemerdekaan sejati.Sekalipun jalan yang mereka tempuh teramat
panjang dan berliku, bahkan pengorbanan yang tidak sedikit demi mempertahankan
sebuah gagasan yang merupakan cita-cita mulia, yakni “kemerdekaan”.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufik dan Abdurrahman Suryomihardjo, Ilmu sejarah dan Historiografi, Jakarta:
Gramedia, tt.
Ali,
Fachry, “Tesis Tentang Feodalisme di Indonesia”, Ulum al-Qur’an, 4/7/97
Ankersmit,
F.R. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat
Sejarah, Jakarta: Gramedia, tt.
Collingwood,
RG. The Idea of History, London: Oxford University Press, 1956
Fredderick,
William H. dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi.
Jakarta: LP3ES, 1984.
Gottschalk,
Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press, 1986.
Loir,
Henri Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed). Penggung
Sejarah.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Seojatmoko,
et. al. An Introduction to Indonesia Historiography. London: Cornell University
Press, 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar