1.
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional
dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga
dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam
tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan
konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal
dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap
pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi
langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu
tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai
tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut
pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap
dua menempati
posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan
apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan
akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain
tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
Tingkat konvensional
umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai
moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat
dalam perkembangan moral.
Dalam tahap
tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang
lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran
yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal
tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang
lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
Dalam tahap
empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan,
dan konvensi sosial karena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi
kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa
yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu -
sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor
yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca
konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima
dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah
entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakikat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap
lima,
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai
yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan
pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan
yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang
lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial
dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi.
Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap
enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan,
dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting
untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam
cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant)
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang
saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls)
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus.
Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg
yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
Contoh
dilema moral yang digunakan
Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam disertasi aslinya pada tahun 1958. Selama
kurang lebih 45 menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam,
pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk menentukan penalaran moral
tahapan mana yang digunakan partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek
yang menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat keputusan moral.
Partisipan tersebut diberi serangkaian pertanyaan terbuka yang sistematis,
seperti apa yang mereka pikir tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga
justifikasi seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah.
Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari jawaban-jawaban
tersebut dan bukan pada isinya; melalui serangkaian dilema moral diperoleh skor
secara keseluruhan.
Dilema
Heinz
Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg
dalam penelitian awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.
Seorang perempuan sudah
hampir meninggal dunia akibat semacam kanker.
Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah
semacam radium yang
baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di
kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker
menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200
untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat
tersebut. Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang
dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah dari
harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah
sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau
memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan:
“Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari uang dari obat itu.”
Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi
istrinya.
Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk
mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?
Dari sudut pandang teoretis, apa yang
menurut partisipan perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori
Kohlberg berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah yang
signifikan, bentuk dari repon mereka.
Kritik
Terhadap Teori Kohlberg
Salah satu kritik
terhadap teori Kohlberg adalah bahwa teori tersebut terlalu menekankan pada
keadilan dan mengabaikan norma yang lainnya. Konsekuensinya, teori itu tidak
akan menilai secara adekuat orang yang menggunakan aspek moral lainnya dalam
bertindak. Carol Gilligan berargumentasi bahwa teori Kohlberg terlalu
androsentrik. Teori Kohlberg semula dikembangkan berdasarkan penelitian
empiris yang menggunakan hanya partisipan lelaki; Giligan berargumentasi bahwa
hal tersebut membuat tidak adekuatnya teori itu dalam menggambarkan pandangan
seorang perempuan. Walaupun penelitian secara umum telah menemukan tidak adanya
perbedaan pola yang signifikan antar jenis kelamin, teori perkembangan moral
dari Gilligan tidak memusatkan perhatiannya pada norma keadilan. Ia
mengembangkan teori penalaran moral alternatif berdasarkan norma perhatian.
Psikolog lain
mempertanyakan asumsi bahwa tindakan moral dicapai terutama oleh penalaran
formal. Salah satu kelompok yang berpandangan demikian, social
intuitionists, mengemukakan bahwa orang sering membuat keputusan moral tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, hukum, hak asasi
manusia, dan norma etika yang abstrak. Berdasarkan hal ini, argumen
yang telah dianalisis oleh Kohlberg dan psikolog rasionalist lainnya dapat
dianggap hanya merupakan rasionalisasi dari keputusan intuitif. Ini berarti
bahwa penalaran moral kurang relevan terhadap tindakan moral dibanding apa yang
dikemukakan oleh Kohlberg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar