KANJAN SERAYONG DAYAK PESAGUAN KALIMANTAN BARAT
Disusun oleh:
Paulinus Yanto (121314013)
PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
HALAMAN JUDUL
KARYA ILMIAH
KANJAN SERAYONG DAYAK PESAGUAN KALIMANTAN BARAT
Disusun oleh:
Paulinus Yanto (121314013)
PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
HALAMAN PENGESAHAN
KANJAN SERAYONG DAYAK PESAGUAN KALIMANTAN BARAT
Disusun oleh:
Paulinus Yanto (121314013)
Dosen Pengampu
................................ Yogyakarta,.......september 2012
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini kami persembahkan untuk :
1. Tuhan Yang Maha Esa,karena berkat dan rahmat-Nya,kami dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
2. Drs.Br.Petrus I Wayan Parsa,FIC,MA.selaku Kepala SMA Pangudi Luhur Santo Yohanes
3. Ibu Galeh Eka Suciaty,S.Pd.selaku Guru Pengampu bidang studi Bahasa Indonesia,yang telah membibing kami dalam menyusun karya ilmiah ini.
4. Kedua orang tua kami yang selalu mendukung kami
5. Untuk teman-teman kami yang membantu kami dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
6. Dan orang-orang yang telah membantu kami baik secara langsung maupun tidak langsuk.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada TuhanYang Maha Esa,karena berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.Karya ilmiah ini disusun sebagai tugas akhir bidang studi Bahasa Indonesia,yang diampuh oleh Guru bidang studi yaitu:Galeh Eka Suciaty,S.Pd.
Adapun terselesainya karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung,untuk itu kami ucapkan terima kasih.Karya ilmiah ini tentu masih jauh dari sempurna,untuk itu kami selaku penyusun mengharapkan kesediaan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan penyempurnaan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat membantu dan memperluas wawasan pembaca,kami juga mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam karya ilmiah ini.
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Contoh: Sandong/tambak
Contoh: Upacara Menganjan
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
(Lambat Menanti lama mehadang) pepatah ini mau mengungkap kegelisahan seseorang yang sedang menanti sesuatu yang sangat diharapkan. Salah satu yang diharapkan orang banyak adalah pelestarian adat jalan jamban titi orang Dayak dalam berbagai bentuk. Tapi belum ada bentuk yang jelas.
Pendokumentasian hukum adat ini merupakan salah satu jawaban atas penantian masyarakat adat Dayak. Ini hanyalah jawaban yang sangat kecil dan sangat sederhana. Tapi dengan permulaan yang demikian, diharapkan akan muncul jawaban yang lebih berarti.
Karya ilmiah ini juga merupakan penghargaan terhadap peninggalan nenek moyang kami orang Dayak. Rasanya tidak berlebihan bahwa peninggalan dalam bentuk adat jalan ini merupakan peninggalan yang sangat berharga. Sayangnya peninggalan ini hampir semuanya dalam bentuk peninggalan lisan yang diwarisi secara turun temurun dalam bentuk verbal.
Lima puluh tahun yang lalu, kira-kira, pewarisaan secara lisan tidak mengalami kesulitan. Masyarakat, terutama kalangan muda tidak ada pilihan lain dalam mencari sesuatu yang bisa dinikmati secara rohaniah kecuali pentas budaya yang dilakukan pada saat-saat tertentu. Mereka belum mempunyai alternatif lain yang tersedia untk memuaskan kehausan spiritual mereka
Ketika generasi berikutnya mengenal sekolah apalagi harus keluar dari komunitasnnya waktu bersekolah, kesempatan untuk menghadiri pentas adat sangat kecil bahkan muncul sikap yang ironis. Generasi-generasi yang mengenal sekolah mendapat paradigma baru, yaitu apapun yang hidup dalam komunitasnya, termasuk adat budayanya adalah rendah. Bahkan dicap ketinggalan dibandingkan dengan budaya yang mereka temukan di tempat-tempat mereka bersekolah. Akibatnya sudah bisa diterka. Mereka tidak lagi mempunyai apresiasi terhadap adat jalan nenek moyang mereka, dan dengan sendirinya mematikan minat mereka untuk menikmati, mempelajari dan memetaskan adat budaya mereka. Bahkan generasi muda yang masih tinggal.
dalam komunitas adat sendiri secara tidak sadar lebih menghargai budaya dari luar ketimbang mengembangkan apa yang diturunkan nenek moyang orang dayak.
Berkat Tuhan, pada hari-hari teakhir ini nampak ada titik balik. Minat untuk menggali dan menghidupkan adat budaya dengan segala keanekaanya mulai hidup lagi, ini suatu yang mengembirakan tentunya. Tapi muncul suatu semangat yang berlebihan, kembali keadat merupakan kemutlakan. Apapun yang dikatakan dunia modern tidak cocok dengan masyarakat adat. Mau murni kembali ke adat, mereka lupa bahwa adat produk zaman. Situasi, lingkungan ketika adat itu tumbuh jauh berbeda dengan masa kini.
Dua ekstrim ini sama tidak sehatnya. Nenek moyang kita orang dayak telah mewariskan sesuatu yang jenius, ini semua adalah merupakan interpretasi mereka terhadap hidup yang merajalela dan mereka alami pada saat itu. Interpretasi mereka dituangkan dalam bentuk hukum adat, pepatah petitih adat kepercayaan dengan seluk beluknya.
Bermodalkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang kita peroleh melalui proses pendidikan dan interaksi dengan berbagai pihak, kita sebagai pewaris adat jalan kerosik mulai tumbuh tanah mulai menjadi ini perl mereinterpretasi interpretasi nenek moyang terhadap realitas hidup mereka. Dengan demikian kita dapat menkreasi suatu bentuk budaya yang berbasiskan budaya nenek moyang kita tapi dalam bentuk representasi yang enak dipandang dan dirasakan oleh manusia zaman kini pula.
Supaya interpretasi kita dapat dipertangungjawabkan maka perlu suatu studi yang cukup mendalam tentang adat jalan ini. Utuk inilah kayara ilmiah ini dibuat. Karya ilmiah ini sedapat mungkin merekam bentuk asli adat jalan orang dayak secara menyeluruh. Bahkan kalau mungkin dengan bahasa aslinya bila ini tecapai usaha interpretasi akan mendapat basis yang kuat dan komprehensif.
Usaha ini juga bertujuan untuk mengembalikan appresiasi berbagai pihak terhadap orang dayak, khususnya adat dayak ketapang sampai sekarang belum ada sikap yang jelas mengenai adat. Kalau di perlukan baru adat ditoleh. Selanjutnya biarkan dia mati. Juga termasuk apresiasi dari kalangan orang dayak sendiri, pernah ditanyakan pada sekelompok orang dayak : apakah mau kembali kepada adat secara utuh. Artinya segala seluk beluk kehidupan diatur dan ditata menurut norma-norma adat, tidak ada yang berani menjawab.
Jadi pengakuan terhadap adat nampaknya masih separuh hati dan sangat utilitarian yaitu menurut pihak pemakaian saja. kepentingan komunitas adat sendiri tidak terlalu mempertimbangkan. Tidak ada keberanian untuk melihat dan mengangkatnya secara utuh.
Dikalangan komunitas adat sendiri, ada kecenderungan untuk mempergunakan adat demi keuntungan material bukan digunakan untuk menegakan kebenaran, komunitas, moralitas, etika dan kehidupan yang harmonis, adil dan damai. Padahal adat sendiri sarat bermuatkan ajaran moral dan etika yang tinggi. Sayangnya banyak orang yang tidak menangkap dengan tepat.
Sebenarnya orang dayak sendiri, paling tidak berada di bawah wilayah Ketapang ini menghayati adat ini diseluruh kehidupan. Dengan istilah hidup dikandong adat, mati di kandong tanah, jelas bahwa orang Dayak melihat bahwa hidup yang benar adalah hidup yang beradat. Adat itu sendi komunitas kehidupan dayak. Bahkan adat itu merupakan infrastuktur yang memungkinkan manusia hidup.
Maka disebut adat kerosik mulai tumbuh tanah mulai menjadi. Adat itu ada sejak pasir dan tanah itu mulai ada. Jadi nampaknya mau dikatakan bahwa adak itu diciptakan dahulu sebelum manusia. Ini dapat dimengerti bahwa langit dan bumi, air dan api hutan dan segala binatangnya rumput dan tetumbuhan diciptakan terlebih dahulu. Penciptaan semua ini bermuara pada pencipta manusia. Jadi semuanya terarah pada manusia, dalam alam pikiran orang dayak, bukan hanya bahanbahan material ini saja yang mendahului penciptaan manusia, tetapi termasuk ketentuan-ketentuan yang disebut adat. Karena sejak manusia hidup dia harus sudah hidup dalam aturan yang jelas, koridor moral dan etika yang tegas dan juga pandangan hidup (filofofi) yang sehat. Maka diciptakanlah adat terlebih dahulu sebelum manusia.
Pemikiran ini tentu ada maksudnya. Rasanya nenek moyang orang-orang dayak sudah menyadari pentingnya supremasi adat. Tentu mereka mempunyai istilah. Tetapi dengan mengatakan bahwa adat itu sama tuanya dengan pasir dan tanah, maka mau dikatakan bahwa
manusia harus tunduk kepada adat dan manusia tidak mempunyai wewenang mengubah adat,
sebab adat ada hal manusia. Hal ini tentu untuk menhindari kesewenangan dalam menjalankan adat jalan oleh demong adatnya.
Pemikiran ini tentu ada maksudnya. Rasanya nenek moyang orang-orang dayak sudah menyadari pentingnya supremasi adat. Tentu mereka mempunyai istilah. Tetapi dengan mengatakan bahwa adat itu sama tuanya dengan pasir dan tanah, maka mau dikatakan bahwa manusia harus tunduk kepada adat dan manusia tidak mempunyai wewenang mengubah adat, sebab adat ada hal manusia. Hal ini tentu untuk menhindari kesewenangan dalam menjalankan adat jalan oleh demong adatnya.
Adat istiadat sebenarnya sudah begitu lengkap. Kalau ada keterbukaan sedikit dari pihak autorhity banyak kaedah adat yang dapat diambil dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Bahkan kalau suatu komunitas diberi kesempatan untuk mendasarkan hidup mereka pada khasanah nenek moyang mereka pasti akan tercipta suatu bentuk bermasyarakat yang lebih terbuka tertata dari sekarang ini.
Pengembaliaan otoritas adat istiadat tidak bisa diharapkan dari luar komunitas adat itu sendiri. Komunitan adat itu sendirilah yang bertanggung jawab dalam membenahi dan memperkembangkan adat jalan ini.
I.2. Rumusan masalah.
Sehubung dengan latar belakang masalah di atas permasalahn yang akan dibahas dalam karya ilmiah ini
1. Apakah yang dimaksud dengan Masyarakat Dayak itu?
2. Apakah yang dimaksud dengan Menganjan itu?
3. Apakah yang dimaksud dengan Menyandung?
4. Apakah yang dimaksud dengan Tambak?
5. Apakah yang dimaksud dengan Betunu?
6. Bagaimana persiapan dan acara Menganjan?
7. Bagaimana Perkembangan Tradisi Kanjan Serayong?
I.3. Ruang Lingkup masalah
1. Kajian Serayong adalah rangkaian upacara terakhir prosesi adat Kematian (F.Raji’in).
2. Dayak adalah Penduduk asli pulau kalimantan ( F.Raji’in).Dajakkera ( dayak ) adalah kera, terasi, anjing kurap. ( Kolonial Belanda sebelum tahun 1990 – an )
3. Sungai pesaguan adalah sungai yang mengalir pada daerah Tumbangtiti (F.Raji’in)
Kanjan Serayong Dayak Pesaguan merupakan rangkaian prosesi acara atau adat kematian penduduk asli Kalimantan yang berada di aliran Sungai Pesaguan daerah Tumbangtiti, Kabupaten Ketapang.
I.4. Maksud dan Tujuan
Tujuan penulisan dalam karya ilmiah yang berjudul Kanjan Serayong Dayak Pesaguan Kalimantan Barat adalah :
1. Mengetahui yang dimaksud dengan masyarakat Dayak Pesaguan.
2. Mengetahui maksud dan tujuan Menganjan
3. Mengetahui yang dimaksud dengan Menyandung
4. Mengetahui yang dimaksud dengan Tambak
5. Mengetahui yang dimaksud dengan Batunu’
6. Mengetahui yang persiapan menganjan dan tata cara Menganjan.
I.6. Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian pada karya ilmiah ini terdapat 5 bab.Bab pertama pendahuluan,bab kedua rumusan masalah,bab ketiga metode penelitian,bab keempat pembahasan ,bab kelima penutup.
Di dalam bab I terdiri atas lima subbab.Diantaranya yaitu Latar Belakang Masalah,Ruang Lingkup Masalah,Maksud dan Tujuan dan Sistematika Penyajian.
Di dalam bab II Landasan Teori terdapat Definisi dan Aspek Tradisi Kanjang Serayong Dayak Pesaguan.
Di dalam bab III Metode Penelitian terdapat Sumber Data,Cara Memperoleh Data,Instrumen Penelitian,dan Analisis Data.
Di dalam bab IV Pembahasan terdapat Penanggulangan.
Di dalam bab V Penutup terdapat Kesimpulan dan Saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Masyarakat Dayak Pesaguan.
Masyarakat dayak Pesaguan adalah kelompok masyarakat yang menyebut mereka sebagai orang (dayak) Pesaguan Sekayu’. Mereka tinggal di sepanjang Sungai Pesaguan bagian hulu dan sekitarnya, termasuk juga anak-anak sungainya. Sebagian besar wilayah aliran sungai yang berhulu di pegunungan schwaner ini berada dalam wilayah kecamatan Tumbangtiti, Lalang Panjang, dan Sungai Melayu Raya’, kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
II.2.Aspek Kebudayaan
Berikut adalah kelompok-kelompok kecil pesaguan dengan wilayah Kediamanya :
1. Kelompok serongkah Onam (Pesaguan Hulu).
Dalam sejarah yang dikisahkan lewat cerita-cerita rakyat pesaguan serongkah merupakan salah satu daerah tertua dan berpengaruh diseluruh wilayah kediaman masyarakat pesaguan.
Orang serongkah mendiami wilayah paling hulu dari sungai pesaguan. Dibagian ini sungai pesaguan memiliki beberapa cabang, di antaranya adalah sungai Serongkah dan Setunggu. Letak wilayahnya di bagian timur kecamatan Tumbangtiti, berbatasan langsung dengan propinsi Kalimantan Tengah. Mereka mendiami kampung-kampung Tanjung Malui, Kaliampu, Batu Beransah (Tanjung Bunga), Sekelumbi, Serongkah Kiri, Serongkah kanan, Batu bulan, Beringin, dan beberapa kampung yang lebih Kecil.
Sebagian kediaman mereka kini termasuk wilayah desa Tanjung Berulang, desa Beringin, dan desa Serongkah kiri, dan desa serongkah kana. Kampung yang termasuk dalam wilayah desa lain hanya kampung Tanjung Maloy yakni di wilayah desa Natai Panjang. Secara geografis daerah masyarakat serongkah sebagian besar berbukit-bukit dikelilingi beberapa bukit yang agak tinggi yakni bukit raya, beringin tinggi sepantis dan mengelaso. Namun sebagian besar orang Serongkah bermukim di Sungai Pesaguan Dan anak sungainya.
2. Kelompok Kekubang Jelayan (Pesaguan Tongah)
Kelompok Kekuban Jelayan mendiami wilayah sungai pesaguan, mulai dari Tumbangtiti sampai dengan Sukadamai, dengan kampung-kampung wilayah yang kediamannya masyarakat ini berada di sebelah hilir Serongkah. Seluruh wilayah kediaman mereka kini termasuk wilayah desa Natai panjang dan desa Jelayan. Bukit yang tinggi di daerah ini antara lain adalah bukit Jelayang dan bukit Sepawar.
3. Kelompok Batu Tajam dan (Pesaguan Hilir
Kelompok ini mendiami sebelah kecamatan Tumbangtiti, kecamatan Lalang Panjang, dan Sungai Melayu Raya, berbatasan dengan wilayah kediaman kelompok masyarakat Gerunggang (kecamatan Nanga Tayap dan Lalang Panjang).
4. Kelompok Mehawa atau Pesaguan Kanan
Kelompok ini mendiami daerah kecamatan paling selatan kecamatan Tumbangtiti.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam karya ilmiah ini menggunakan metode keilmuan.Ada dua studi atau teknik yang bisa dilakukan, studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka adalah metode atau cara penelitian yang bersumber dari buku artikel atau informasi dari internet, studi lapangan adalah metode atau cara penelitian di mana data diperoleh dari kegiatan yang dilaksanakan di lapangan berupa observasi, wawancara, angket, pencatatan data yang tertulis dan sebagainya.
Di dalam karya tulis ini kami menggunakan studi pustaka yang mencoba mencari data sebanyak-banyaknya yang diperoleh dari buku-buku yang ada di perpustakaan.
Kami tidak melakukan studi di lapangan karena waktu yang kami miliki tidak banyak dan pihak yang terkait sulit untuk diwawancara.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Masyarakat Dayak Pesaguan.
Masyarakat dayak Pesaguan adalah kelompok masyarakat yang menyebut mereka sebagai orang (dayak) Pesaguan Sekayu’. Mereka tinggal di sepanjang Sungai Pesaguan bagian hulu dan sekitarnya, termasuk juga anak-anak sungainya. Sebagian besar wilayah aliran sungai yang berhulu di pegunungan schwaner ini berada dalam wilayah kecamatan Tumbangtiti, Lalang Panjang, dan Sungai Melayu Raya’, kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Berikut adalah kelompok-kelompok kecil pesaguan dengan wilayah Kediamanya :
1. Kelompok serongkah Onam (Pesaguan Hulu).
Dalam sejarah yang dikisahkan lewat cerita-cerita rakyat pesaguan serongkah merupakan salah satu daerah tertua dan berpengaruh diseluruh wilayah kediaman masyarakat pesaguan.
Orang serongkah mendiami wilayah paling hulu dari sungai pesaguan. Dibagian ini sungai pesaguan memiliki beberapa cabang, di antaranya adalah sungai Serongkah dan Setunggu. Letak wilayahnya di bagian timur kecamatan Tumbangtiti, berbatasan langsung dengan propinsi Kalimantan Tengah. Mereka mendiami kampung-kampung Tanjung Malui, Kaliampu, Batu Beransah (Tanjung Bunga), Sekelumbi, Serongkah Kiri, Serongkah kanan, Batu bulan, Beringin, dan beberapa kampung yang lebih Kecil.
Sebagian kediaman mereka kini termasuk wilayah desa Tanjung Berulang, desa Beringin, dan desa Serongkah kiri, dan desa serongkah kana. Kampung yang termasuk dalam wilayah desa lain hanya kampung Tanjung Maloy yakni di wilayah desa Natai Panjang. Secara geografis daerah masyarakat serongkah sebagian besar berbukit-bukit dikelilingi beberapa bukit yang agak tinggi yakni bukit raya, beringin tinggi sepantis dan mengelaso. Namun sebagian besar orang Serongkah bermukim di Sungai Pesaguan Dan anak sungainya.
2. Kelompok Kekubang Jelayan (Pesaguan Tongah)
Kelompok Kekuban Jelayan mendiami wilayah sungai pesaguan, mulai dari Tumbangtiti sampai dengan Sukadamai, dengan kampung-kampung wilayah yang kediamannya masyarakat ini berada di sebelah hilir Serongkah. Seluruh wilayah kediaman mereka kini termasuk wilayah desa Natai panjang dan desa Jelayan. Bukit yang tinggi di daerah ini antara lain adalah bukit Jelayang dan bukit Sepawar.
3. Kelompok Batu Tajam dan (Pesaguan Hilir)
Kelompok ini mendiami sebelah kecamatan Tumbangtiti, kecamatan Lalang Panjang, dan Sungai Melayu Raya, berbatasan dengan wilayah kediaman kelompok masyarakat Gerunggang (kecamatan Nanga Tayap dan Lalang Panjang).
4. Kelompok Mehawa atau Pesaguan Kanan.
Kelompok ini mendiami daerah kecamatan paling selatan kecamatan Tumbangtiti.
IV.2. Maksud dan tujuan menganjan
Menganjan bagi orang Pesaguan adalah rangkaian upacara terakhir dari adat kematian. Namun tidak semua orang yang meninggal dunia dikanjan atau istilah pesaguanya dikanjanan. Orang akan melaksakan upacara menganjan apabila meninggal dunia akan disandung atau ditambak. Khusus untuk upacara menyandang harus dilalui dengan upacara betunu’ atau pembakaran jenazah dan penyandungan, yang akan dijelaskan pada bagian berikut.
Sementara itu, untuk menambak tidak seperti upacara menyandong yang harus didahului upacara pembakaran jenazah. Orang yang akan di tambak (merapat tambak menanam minsan), jenazahnya tidak dibakar. Meskipun demikian, pada dasarnya, upacara tersebut adalah sama. Perbedaanya adalah sandang merupakan tempat disemayamkanya abu dari tulang yang dibakar (ditunu’) berdiri di atas tiang tinggi, sedangkan tambak diletakan di atas kuburan.
Adapun makna Menganjan adalah semacam ungkapan kemenangan atas maut. Menganjan juga disebut ayah yang berarti kesukaan, kegembiraan atau keramaian. Kata menganjan sendiri dapat diartikan dengan menganjar yang merupakan seruan kegembiraan.
IV.3. Menyandung
Menyandung atau menyandang adalah sebuah upacara penguburan jenazah yang dibakar ke dalam tempat khusus yang disebut sandung atau sandong. Sebelum orang yang meninggal dunia disandung, terlebih dahulu harus melalui upacara pembakaran jenazah yang disebut batunu’.
Jenis-jenis Penyandungan:
1. Saparingkus.
Saparingkus artinya setelah upacara pembakaran, jenazah langsung disandung dan dikanjan. Pada malam setelah pembakaran jenazah, tulang-tulang sisa pembakaran disemayamkan di dalam kalambu hantu’ dan seorang batara dan damong bercerita sepanjang malam yang disebut babayang.
Dalam cerita babayang digambarkan bahwa sang arwah yang meninggal menuju surga, ceritanya memang tidak terlalu panjang karena harus diceritakan sepanjang malam maka alurnya diperlambat dan harus selesai pada pagi hari.
Tabuhan gamelan kanjang juga dimainkan terus hingga senja hari, saat di mana upacara menyemayamkan tulang belulang di dalam sandung yang dinamakan ma’ujang.
2. Balamin
Balamin adalah penyimpanan tulang belulang sisa pembakaran ke dalam tempayan dan diletakan di tempat pembakaran itu juga, dengan dibuatkan tempat khusus yang disebut telamba.
Setelah, paling cepat tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun bahkan bisa berpuluh tahun baru diadakan upacara penyandungan. Lamanya waktu pelaksanaan penyandungan sejak pembarakan sangat bervariasi. Ini semua tergantung dari keadaan, kesiapan, dan situasi dari pihak keluarga.
3. Babansir
Babansir adalah upacara lanjutan dalam kematian seorang demong. Jenazah tidak langsung dibakar pada saat meninggal dunia. Tetapi dikubur seperti biasa dahulu. Setelah beberapa tahun sampai saat yang dianggap tepat oleh keluarga, baru diadakan upacara pembakaran jenazah dan penyandungan.
Jenazah yang sudah dikubur tersebut digali kembali kemudian dibakar. Perbedaan dengan balamin adalah pada balamin selesai dibakar langsung disandung. Pada malan hari setelah pembakaran jenazah dalam upacara babansir juga diadakan babayang. Jika ayahnya hanya satu malam (dua hari satu malam), maka keesokan harinya langsung diadakan upacara maunjang.
4. Manggapayang Bangar
Manggapayang bangar adalah upacara bagi orang yang meninggal langsung dikubur, dan beberapa tahun baru digali, tulang belulangnya disemayamkan di dalam sandung pasak, bukan sandung kakarasan atau sandung burung. Upacara ini sudah lama tidak dilaksanakan di Pesaguan Tengah dan Pesaguan Hulu.
IV.4. Tambak
Tambak adalah semacam nisan pada kuburan yang terbentuk seperti rumah dengan hiasan dinding dan atap yang sangat indah. Ada dua jenis tambak, yaitu tambak rantingan dan sandung tanah. Tambak rantingan adalah tambak yang tiangnya tegak lurus dan tambi (dindingnya) paling sedikit tiga tingkat, paling banyak tujuh tingkat.
Sandung tanah adalah kuburan yang bentuknya persis sandung kakarasan, hanya memiliki tiang dan dulang-dulang, serta diletakan di atas kuburan. Dulu sandung tanah hanya diperuntukan bagi orang turunan batunu’ tetapi jenazahnya tidak dibakar.
Pada masa ini hampir semua tambak kuburan dibuat berbentuk sandung tanah, dan tidak ada perbedaan lagi antara orang turunan batunu’ dengan orang yang bukan turunan batunu’.
Dalam melaksanakannya, menambak sebagian besar langsung dilaksanakan saat meninggal dunia, dan tidak dikanjan. Ini terutama terdapat pesaguan tengah dan pesaguan hulu. Dikampung seperti pengantapan dan sungai Melayu, serta beberapa kampung lainya, orang yang meninggal dunia ditambak, kemudian langsung dikanjan. Dalam pelaksanaanya, orang yang di dalam rumah menyembunyikan gamalan bartipa, sedangkan yang di luar rumah (di tanah) melaksanakan upacara menganjan.
IV.5. Batunu
Batunu’ berarti membakar jenazah, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, jenazah orang keturunan batunu’ yang meninggal tidak seluruhnya dibakar sebaliknya, walaupun dia bukan orang turunan batunu’ jika ada pertimbangan lain, serta ditujang oleh bermacam-macam kemungkinan maka bisa saja dibakar jenazahnya, walaupun orang tersebut domong tetapi bukan turunan batunu serta tidak ada faktor penunjang maka dia boleh saja dibakar.
Orang-orang yang dapat dikatakan bukan turunan batuna adalah mereka yang merupakan turunan campuran .Bisa juga karena seseorang yang merupakan turunan campuran. Bisa saja jika orang tersebut beberapa turunan dari masyarakat biasa. Orang ini kemungkinan memiliki kecerdasan tinggi, cerdik, cendekia, serta disukai orang banyak sehingga diperlakukan seperti halnya seorang demong kendati pun ia berasal dari kelompok lawang tangga.
Orang yang bukan keturunan batunu juga dapat dibakar jenazahnya jika diinginkan oleh keluarga atau kaum kerabatnya sendiri. Untuk hal ini, keluarga harus memnuhi persyaratan khusus dalam hukum adat yang disebut penobatan bangsa, sebuah adat yang cukup kaum keluarga memiliki kemampuan secara ekonomi
Dalam adat pesaguan wanita lebih berharga dari pada pria, yang sangat tampak pada acara batunu’ , untuk laki-laki jumlah kayu yang digunakan sebanyak 100 batang sedangkan wanita mengunakan kayu tunu’ 150 batang. Kayu yang digunakan ini adalah jenis kayu sedawak, kelampai, kamponing dan jenis buah lainya. Tempat untuk membakar disebut Pahiri’, pada Pahiri’ inilah kayu diatur pada bagian tengah di kiri dan kanan lancang atau peti mati.
Setelah selesai pembakaran api bekas pembakaran ditampus atau disiram dengan air hingga padam tulangnya kemudian diambil oleh orang yang memang sederajat bahkan lebih baik lagi jika orang terbebut lebih tinggi derajatnya.
IV.6 Persiapan dan Tata Cara Menganjan
Sebelum melaksanakan upacara Menganjan Menyerayung, mula-mula diadakanlah pertemuan antara pihak keluarga, selanjutnya pertemuan kedua yang dilakukan bersama masyarakat, dari pihak yang teristimewa seperti orang-orang tua, damong (kepala adat), serta pemimpin-pemimpin masyarakat, pada pertemuan itu keluarga harus menyampaikan maksud dan tujuannya.
Setelah melakukan pertemuan atau perundingan dan telah menemukan kata sepakat maka waktu untuk pelaksanaan pun ditentukan. Pertama waktu kapan upacara akan dimulai, berapa lama upacara itu harus dilakukan, berapa kampung yang akan diundang dan pembagian tugas atau pekerjaan masing-masing.
Pada zaman dahulu jika akan menyandung masyarakat harus masuk ke hutan untuk mengambil kayu belian atau bahan-bahan lainnya yang akan digunakan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan waktu yang sudah ditentukan agar pelaksanaanya tertata dengan baik. Setelah semua persiapan selesai dilakukan bahan-bahan dibawa ke dekat kampung tapi tidak masuk kampung di sanalah para ahli membuat sandung atau tambak baru setelah pada hari ketiga acara dilakukan
Acara akan dipimpin oleh betara dan dukun yang memang ahli.Dalam upacara ini, diawali dengan meramu dan membuat persiapan-persiapan berikut:
1. Memadak rukun rangau
Rukun rangau ini terdiri dari bahan-bahan isi berupa terong, keladi, labu, padi yang merupakan bahan-bahan pangan.
Kemudian balon lompi yang terdiri dari roso’ hahihup, sengsabang, moras, dan
ditambah dengan kabung lumpang tamiyang bidak panari, serta mandau dan tombak seadanya. Memandak rukun ranggau atau menyiapkan segala sesuatunya hal ini dilakukan saat persiapan sebelum menganjan.
2. Tataruk atau Tetarok
Tataruk adalah sebuah bangsal atau tempat duduk yang cukup luas yang disiapkan sebagai suatu pusat kegiatan dalam pelaksanaan upacara menganjan,para tamu diterima di tempat ini di sinilah para tamu akan menari dan menyanyi sehingga penduduk dapat menyaksikan kegiatan ini secara keseluruhan.
3. Natar
Natar adalah suatu tempat berupa alun-alun di mana orang-orang akan bersukaria menyanyi atau menyanyi, di tengahnya ditancapkan sebuah temiang pugu’ di sanalah para tamu akan minum sesudah dan sebelum menari. Yang tak kalah pentingnya adalah tekalak jarang tempat meletakan kepala yang akan dipakai menari sandung atau tambak juga akan diletakan di tengah-tengah natar apabila dilakukan pelaksanaan upacaranya.
IV.6 a. Menyimah Tihang Sandung
Bagian ini dilaksanakan apabila upacaranya adalah menyandung. Sebelum dibawa ke tengah natar, tiang sandung ( tihang sandung ) diijimah lebih dahulu. Tiang sandung akan diijimah dengan darah ayam dan darah kura-kura. Sambil mencabuti bulu ayam yang akan di potong, batara akan botatou. Tujuan dari botau adalah agar dalam pelaksanaannya, upacara kanjang serayung akan lancar ; segala hambatan , penyakit , perkelahian, dan lainnya dapat di hindarkan.
IV.6 b. Mamatik Tambarirang.
Batara yang lain melaksanakan ritual mamatik tambararirang. Acara yang di laksanakan di ujung kampung. Batara akan menggantungkan sebuah ancak kocik lengkap dengan isi nya, lalu meneteskan tuak ke tanah atau bambuang , dengan totau sebagai berikut: “Batang topas batang katimbang, batang pinang bolit madu’, aku menyorahan ancak ka tambirrang, golakan gandau sa’adu-adu’.Golak ma’adu’koyi’uan kocal tamppar,tikang kalohi’, pukul hompas. Haaaiii tambangrirang, nam mangka koyi patik koyi umpan, kayi jamu’ jimah nin.
Enggai jangan menggangu koyi’ manganjang marayung, manyandung manambak nin. Jangan kayin singgah rampai –bahonti batodoh dikoyi’.
Koyi bakai manbuh kanjan.\, mbah’ jangan kayin mangguna mangayan, mandatangan juaran kapahala’, songkak tantobakan.
IV.6 Manumang Kepala.
Menumang atau manumang berati membakar sesuatu pada tumang, sejenis tungku kayu berkaki tiga. Menumang kepala’ berarti membakar kepala di atas tungku tumang. Pada jaman dahulu, yang di tumang adalah kepala manusia.
Konon orang Pesaguan tidak memiliki budaya mengayau. Namun jika ada pengayau ( ngayau ) atau orang jahat yang menyerang dan membunuh, maka di adakan perlawanan sehingga terjadi pembalasan yang sifat nya membela diri, sehingga terjadilah pemotongan kepala. Kepala kayau merupakan simol kememenangan. Dalam setiap pelaksanaan upacara mengajan merayung, kepala tersebut di tumang sebagai sebuah peringatatan.
Sekarang yang di tumang bukan batok kepala manusia lagi , tetapi sebuah kelapa muda ( nyiur hijau ). Kelapa ini akan di panjat dan di bawa turun dari pohonnya; kelapa tersebut tidak boleh jatuh ke tanah. Pada buah kelapa hijau akan di buat gambar mata, mulut ,hidung,seperti kepala manusia, menggunakan jeronang. Sambil membuat gambar , betara’akan bercerita Sesulor Sesileh.
Untuk menumang, tengkuyungnya harus dari kayu keriato balang ( batang pohon buah keritao yang belum berbuah ). Jika mengajan akan di gunakan tungku kumpang kekarot. Bahan untuk menghidupkan apinya harus menggunakan damar benuah ( Bengkirai ). Kayu api menggunakan bahan kayu buah- buahan.
Setelah ditumang, kepala tersebut akan dibawa ke tetaruk, untuk di patik dan dijimah dengan seekor ayam, abu dingin, nasi dingin di belakang penampi. Kemudian akan dibersih- kan dengan air tuak. Dukun kemudian akan meletakan ancak kedua ujung kampung. Pada saat ini, tabuhan Teranjak sudah boleh dibunyikan. Batok kelapa akan dikerok dan diisi dengan air tuak. Tuak dalam batok kelapa ini akan diminum secara bergiliran.
Setelah selesai diminum, kelapa muda ini akan di bungkus dengan tarap kuning dan di pegang sambil dibawa menari yang disebut tari menimang kepala’. Tari menimang kepala akan diiringi dengan tabuhan teranjak yang cepat dan bersemangat. Orang-orang yang pertama menari ini adalah batara’, domong, dan pihak keluarga pelaksana upacara mengajan ( keluarga bekabun ).
Pada saat tidak ada tari menimang kepala’,’kepala’ tersebut akan di letakan di tekalak jarang yang berada di tangan natar. Tarian selalu di tarikan oleh delapan pasang, penari delapan penari lelaki dan delapan penari perempuan. Perlengkapan menari yang utama adalah mandau dan sensabang, dan tentupang ( semacam tutup kepala dengan hiasan indah bulu burung ruwai di pucuknya ) untuk lelaki.
IV. 6 d. Sangar Sesuluh Sesileh
Pada umumnya ritual- ritual tradisonal Pesaguan selalu memiliki kisah asal-usulnya yan kemudian menjadi dasar pelaksanaan upacara tersebut. Demikian juga halnya dengan upacara menganjan memiliki sangan ( cerita ) yang mendasari pelaksanaannya.
Di jaman dahulu ada dua bersaudara bernamam Sesulor dan sesileh. Mereka adalah orang keturunan tuyulan atau orang yang memang menjadi korban dalam setiap upacara mengajan atau menyandung. Mereka akan di bunuh dan menjadi tumbal pada dasar tiang sandung.
Leluhur sesulor dan sesileh adalah turunan tuyulan yang berasal dari daerah Arut, yang di sebut daerah matoari hidup ( Timur ). Karena ingin menghidari pengorbanan sebagai tuyulan di sana, mereka melarikan diri ke banan sebagai tuyulan di sana, mereka melarikan ke daerah Pesaguan. Pasangan leluhur Sesulor dan Sesilen ini dipelihara dan dilindungi oleh orang Pesaguan. Anak cucu nya tetap menjadi tuyulan setiap ada upacara menganjan baik menambak maupun menyandung. Pada jaman ukat Kebodohan, tuluyan tinggal dua orang , yaitu dua bersaudara sesulor dan adik nya Sesileh.
IV.6 f. Malanggaran Bulin
Urutan tarian berikutnya akan diiringi dengan tabuh kanjan. Yang mendapat giliran menari adalah giliran undangan lainnya, berturut-turut tiga atau lima ( paling banyak ada tujuh ) kali giliran ( kombaran ), kemudian dilanjutkan dengan menjemput para pembuat sandung atau tambak di luar kampung.
Para pembuat sandung atau tambak ini juga akan menari dan bergabung dengan para penjemput. Mereka kemudian akan kembali bersama-sama ke tengah natar. Bagian ritual ini dinamakan malanggaran bulin. Iringan tari malanggaran bulin ini adalah tebuh teranjak.
Selesai malanggaran buli ini, tabuhan kanjan terus dimainkan mengiringi orang-orang yang menari kanjan. Sementara itu, orang-orang- terutama muda mudi—akan menarikan tarian pergaulan yang dinamakan dansai atau patung belereng. Tarian dansai atau berdansai ini memiliki gerakan kaki yang berirama dan bergerak mengelilingi parapenari kanjan sehingga membentuk lingkaran besar di natar. Tari ini sangat digemari oleh para muda mudi dan anak-anak.
Tabuhan kanjan tidak boleh dihentikan dan harus di mainkan sepanjang malam. Para penari juga bergiliran menari ke tengah natar sampai matahari terbit. Tarian menimang kepala atau teranjak akan dilakukan sebanyak tiga kali pada siang hari dan tiga kali pada malam hari,menyelingi tarian kanjan. Yang membawakan tarian teranjak ini biasa nya para demong, batara’, kalangan keluarga, dan para undangan tertentu.
IV.6 g. Penyerahan Palalawat
Pada hari kedua, kelompok masyarakat yang tergbung dalam wilayah kampung setempat akan menyerahkan palalawat kepada keluarga pelaksanan upacara menganjan. Palalawaat adalah semacam bantuan dari masyarakat, biasanya berupa beras, tuak, babi,ayam,umbut kelapa, serta bahan komsumsi lainnya yang ditaruh di tapsi atau pahar. Tapsi atau pahar yang dihiasi dengan sensarang dan berisi bahan-bahan tersebut diserahkan oleh seorang juru bicara kepada pihak keluarga berduka atau yang mewakili. Acara hari kedua ini penuh dengan suasana gembira dan berlangsung dari pagi hingga malam.
IV.6 h. Ma’alap Tulang
Ma’alap tulang atau mengambil tulang adalah pengambilan tulang di tempat pembakaran. Yang boleh ikut ma’alap tulang jenazah yang telah di bakar adalah keluarga, demong yang tua, dan orang-rang yang bukan anak cucu orang yang di sandung.
Tulang-tulang itu akan diambil dan diletakan di dalam kampit hansir yang dibungkus dengan kain kuning. Kampit hansir itu kemudian akan dibawa dengan cara digendong di depan oleh seorang demong tua atau orang tua yang jurusnya paling tidak setara dengan orang yang disandung.
Jika tidak ada seorang pun yang dapat memenuhi syarat tersebut, maka yang jurusnya tidak setara pun diperbolehkan asalkan hubungan keluarganya sudah agak jauh.
Sebelum pengabilan tulang ,telamba’ taua tempat tulang ditaruh di pembakaran akan dibongkar. Orang yang membongkar telamba’ juga harus memiliki jurus yang setara atau lebih tinggi, atau orang sudah agak jauh hubungan kekeluargaannnya.
Tabuhan kecapanga hantu akan di bunyikan untuk mengiringi pembawaan tulang dari tempat pembakaran sampai ke tataruk. Di tataruk, tulang di semayamkan di dalam kelambu hantu. Di sana tulang dimandikan dengan air langgir akar dan jejamuan lain nya.
IV. 6 i. Menebang Jarau
Jarau adalaha semacam ‘pohon’ yang terbuat dari bambu dengaan hiasan dan cabang-cabang di atasnya digantungi semacam hadiah. Adat jarau bukan merupakan adat asli Pesaguan. Adat ini dibeli dari masyarakat delang kalimatan tengah.
Jerau merupakan sumbangan dari para undangan. Selain jerau sumbangan, terdapat juga sebuah jerau yang di sebut jerau kepemalian. Jerau ini adalah jerau dari keluarga pelaksana upacara menganjan.
IV. 6 j. Memutus Bulen
Setelah semua upacara ma’alap tulang dan penyamaan tulang di kelambu hantu selesai,orang akan menyiapkan ritual yang berupa tarian memutus bulen. Tarian ini akan dibawakan oleh domong’, betara dan keluarga berkambung. Biasanya tarian ini dibawakan dua kombaran ( dua giliran ).
Kemudian tulang akan digendong dan di bawa naik ke atas pelatar untuk disemayamkan ke dalam sandung. Bagian ini disebut ma’unjang.
Sesudah memutus bulen, tarian masal berdansai sudah tidak akan dilakukan lagi, karena pada saat ini penari akan lebih ‘liar’ menghunus dan mengayunkan mandau dan bersilat. Babi di tengah akan ‘disiksa’ dan akan dibunuh pada saat ini.
IV.6 k. Pantang Kasau
Setelah ma’ujang ( pada acara menyandung) atau memasar tambak pada acara menganjan menambak orang-orang yang kembali dari pelatara ( sandung) atau kuburan (kanjan) akan langsung menuju ke rumah acara. Mereka tidak kembali lagi ke tetaruk atau ke natar.
Bagian upacara ini di sebut mematang kasau. Tarian mematang kasau. Tarian memantang kasau masih diiringi gamalan kanjan. Selesai tarian memantang kasau akan dilanjutkan dengan suasana riang gembira, yaitu menari dengan begendang biasa.
Ini menandakan bahwa semua acara menganjan telah selesai. Untuk itu, setelah semua undangan sudah mendapat kehormatan untuk bangkit menari, acara akan di tutup dengan tarian Tampung Kembilai. Tarian ini hanya ditarikan oleh dua orang domong dengan iringan tabuhan tampung kembilai yang mengalun dengan sangat indah. Tampung kembilai menandakan bahwa kamuh suntung gayi jadi, koris disisipan bidang disangkutkan, yang berati pekerjaan berat sudah selesai, semua akan kembali seperti semula.
IV. 6 l. Papalit Porang Baliung
Keesokan harinya, masih ada satu acara yang cukup penting yang disebut papalit porang baliung. Acara ini berupa pembersihan semua perkakas yang digunakan saat membuat sandung atau tambak agar dapat digunakan kembali dengan baik dalam kehidupan sehari- hari.
Jika masih ada tamu dari kampung lain maka biasanya akan diadakan lagi semacam acara perpisahan dan pemberian tanda ucapan terima kasih atas semua kehadiran serta bantuan dari para tamu. Acara ini dinamakan pepiring boras. Dalam acara ini para tamu dari jauh akan di berikan penghomatan dengan pesta tarian begendang lagi. Selain itu juga akan diserahkan
beras dan nasi sebagai lambang ucapan terimakasih dan bekal dalam perjalanan pulang. Dengan demikian selesailah sudah seluruh rangkaian acara menganjan. Rasa kepuasan dan kebahagiaan akan memenuhi kehidupan seluruh anggota keluarga penyelengggara kepuasan dan kebahagian karena telah berhasil menyelenggarakan acara penghormatan terakhir terhadap jenazah keluaraganya meninggal dunia, karena orang yang meninggal tersebut telah berbahagia di sebayan tujuh seruga dalam.
IV.7 Perkembangan Tradisi Kanjan Serayong
Pada awal abad 19 kelompok dominan yang berada di Pulau Kalimantan adalah suku Dayak dan Melayu etnis melayu umumnya bermukim di daerah pantai, mereka adalah penganut Islam dan lebih dulu mengenal budaya baca tulis karena dekat pelabuhan dan mudah mendapat informasi dari pihak luar mengenai berita-berita untuk kemajuan kehidupan ekonomi di Kabupaten Ketapang. Di Kabupaten Ketapang terdapat sebuah kerajaan yang cukup besar pada saat itu yaitu Kerajaan Tanjungpura. Kerajaan ini memiliki pengaruh yang besar di Kabupaten Ketapang akan tetapi kerajaan ini akhirnya berhasil ditahklukan oleh kekuasaan kerajaan Majapahit. Perubahan-perubahan baik secara susunan kerajaan hingga nilai-nilai kehidupan pun sedikit demi sedikit mulai berubah. Hal ini juga mempengaruhi budaya serta bahasa yang digunakan pada saat itu walaupun tidak semuanya,seperti penggunaan nama yang berbau kejawaan.
Pada tahun 1990-an pada masa orde baru pemerintah menggalakkan program transmigrasi. Hal ini juga sangat mempengaruhi budaya di Kabupaten Ketapang. Ada wilayah-wilayah tertentu yang dikhususkan untuk suku atau etnis-etnis bermukim. Secara tidak langsung hal ini sudah mempengaruhi kaidah-kaidah budaya yang ada khususnya masyarakat dayak di daerah pedalaman .Orang-orang di daerah pedalaman hidup dengan kesetikawanan yang tinggi ,mereka menganggap semua orang di kampung adalah keluarga.Setelah datang para transmigran yang hidup membawa budayanya sendiri perlahan-lahan juga diikuti oleh masyarakat setempat.Hingga saat ini rasa kekeluargaan yang ada hanya sebatas ada ikatan atau hubungan darah saja .Apalagi telah masuk perkebunan sawit yang sangat kejam menggerus budaya masyarakat adat .Tragedi-tragedi seperti perampasan hak tanah juga terjadi,para investor asing yang menjanjikan kekayaan ternyata bisa mencuci pikiran masyarakat adat untuk menjual tanah mereka . Para transmigran pun berdatangan untuk mencari nafkah di bumi kalimantan ini, dengan membawa berbagai macam tradisi yang ada membuat masyarakat setempat mengadopsi beberapa bagian dari tradisi tersebut.Tanpa mereka sadari mereka telah menjual nilai-nilai kekayaan yang mereka miliki yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka .Ilegal loging pun pernah terjadi akhir-akhir ini. Perubahan pendapatan membuat masyarakat kurang puas dengan hasil yang diberikan oleh alam merekapun nekad membabat hutan yang ada.
Masyarakat Dayak Pesaguan pada umumnya bermata pencarian sebagai petani karet dan perkebunan sawit. Sampai saat ini mereka masi menjaga kelestarian budaya mereka walaupun sedikit demi sedikit hampir tergerus oleh zaman. Tradisi kanjan serayong merupakan salah satu ritual terbesar bagi masyarakat dayak pesaguan. Hingga saat ini acara ini masih tetap ada walaupun jarang dilakukan karena keterbatasan ekonomi. Generasi muda pun masih memberikan apresiasi terhadap tradisi kanjan serayong ini akan tetapi belum ada minat dikalangan kaum muda untuk ikut serta belajar atau terjun langsung melestarikan tradisi kanjang serayong. Mungkin hal ini disebabkan karna mereka sibuk menuntut ilmu ke daerah perantauan dan pulang ke kampung enggan untuk belajar, karena sudah memiliki paradigma-paradigma baru yang mereka dapatkan sewaktu sekolah.
Akhir-akhir ini ada beberapa oknum yang menjadikan tradisi kanjan serayong untuk kepentingan pribadi seperti penyusunan sekripsi,atau promosi-promosi yang mendapatkan uang. Untuk pelestarian sekarang ini masyarakat sudah mendirikan rumah adat sebagai bukti apresiasi mereka terhadap budaya mereka seperti yang ada di Titibuluh, Jelayan dan lain-lain.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Menganjan, bagi orang Dayak Pesaguan adalah rangkaian upacara terakhir dan prosesi adat kematian. Makna menganjan adalah semacam ungkapan kemenangan atas maut.
2. Orang yang arwahnya dikanjanan dapat masuk ke sebagian tujuh seruga dalam, tempat dimana air tidak bisa membusuk, nasi tidak dapat basi, tempat yang digambarkan sebagai tempat yang abadi (surga).
3. Kaum Muda masih memberikan apresiasi terhadap tradisi Kanjan Serayong. Tetapi belum ada pergerakan menuju pelestarian.
2. Saran
1. Hendaknya kita sebagai warga negara Indonesia memberikan apresiasi terhadap semua budaya yang ada di tanah air indonesia. Karena karya budaya merupakan salah satu kekayaan Negara Indonesia.
2. Hendaknya para kaum muda menggali budaya yang ada di negara Indonesia dan melestarikanya.
3. Kami menghimbau kepada masyarakat Dayak khususnya, untuk tidak menghabiskan alam ini hanya untuk keperluan sekarang tetapi pikirkanlah generasi yang akan datang karena kita hidup berdasarkan kekayaan alam dan budaya yang ada .Tanpa alam adat akan tergerus oleh Zaman secara perlahan–lahan.
Daftar Pustaka
Maunati, Yekti. 2004.Indentitas Dayak. Yogyakarta : LKiS.
Petebang, Edi.. 2001. Masyarakat Adat di Dunia Eksistensi dan Perjuangannya. Jakarta : Gramedia.
Sukanda, Al. Sukanda dan F. Rajiin.2007. KANJAN SERAYONG Ritual Kematian dalam Tradisi Dayak Pesaguan. Ketapang : YAYASAN WARISAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar