BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Ada beberapa pendapat mengenai asal usul istilah “Paderi”. Ada yang mengatakan Padri berasal dari kata Protugis “Padre” yang berarti “bapak”, gelar yang biasa di berikan kepada pendeta. Ada pula yang berpendapat asalnya dari kata “Pedir”, Bandar di pesisir utara Aceh, tempat jalan-jalan haji dari Indonesia berangkat ke tanah Suci. Di Minangkabau sendiri pada awal abad ke-19 kata Padri tidak di kenal, yang ada hanya istilah “golongan hitam” dan “golongan putih”. Golongan putih inilah yang oleh penulis sejarah di sebut “kaum padri”.
Penamaan golongan putih dan golongan hitam berdasarkan atas pemakaian yang di kenakan oleh masing-masing golongan dalam zaman dinamakan “masa berhitam dan berputih”. Pertentangan yang terjadi di golongan putih dan golongan hitam di Minangkabau pada awal abad ke-19 bukanlah “konfrontasi vis a vis” adat kontrak agama. Diakhir abad ke-18, sebelum bangsa Belanda menjejakkan kakinya di Padang Darat, rakyat daerah yang sangat permai dan subur pada umumnya hidup dalam kemakmuran. Kesentosaaan mereka hanya kadang-kadang diganggu oleh perkelahian dan perang batu antara dua golongan rakyat, dari kota Piliang dan Tjaniago, perang batu antara dua kampung ini dengan kampung itu, atau satu suku dengan suku lainnya.
B Rumusan Masalah
1. Keadaan masyaraat Minangkabau sebelum Perang Paderi
2. Penyebab perang Paderi
3. Pertempuran antara kaum adat dan kaum agama
4. Operasi-operasi militer
BAB II
PEMBAHASAN
1. MASYARAKAT MINANGKABAU SEBELUM PADERI
Diakhir abad ke-18, sebelum bangsa Belanda menginjakkan kakinya di Padang Darat, rakyat daerah yang sangat permai dan subur pada umumnya, hidup dalam kemakmuran. Kesentosaan mereka hanya kadang-kadang diganggu oleh perkelahian dan perang batu antara dua golongan rakyat, dari Kota Paliang dan Tjaniago, perang batu antara kampung ini dengan kampung itu atau antara satu suku dengan suku yang lainya. Tetapi perkeahian ini tidak sengit dan berbahaya besar, dan belum boleh dinamakan perang saudara. Oleh orang Minangkabau yang berpegang teguh pada tradisi, perkelahian yang berupa perang batu, perang bedil dan perang kesumat ini, dianggap satu adat yang dipusakakan oleh nenek moyangnya. Pertentangan paham antara dua legislatornya. Datuk Ketumanggungan dan Perpatih nan Sebatang, menimbulkan perbenturan antara dua cara berpikir, aristokratis dan demokratis, yang sewaktu-waktu dapat menumpahkan darah. Penduduk Minangkabau seluruhnya terbagi dalam dua belas suku yang berbeda-beda namanya, dan mereka tersebar diseluruh kerajaan dan dirantau, dan setiap orang sesuku menganggap dirinya ada pertalian darah. Malahan seorang laki-laki tidak boleh mengawini perempuan yang sesuku dengan dia.
Setiap kampung, orang–orang yang yang sesuku tunduk kepada penghulunya yang dinagkat menurut hak kelahiran yang berkewajiban menjaga, membela dan mengurus kepentingan anak buahnya. Dan tiap orang Minangkabau tidak mau tunduk dan menurut pada perintah orang lain, kecuali yang datang dari penghulunya. Pemerintahan kampung dipegang olehrapat kepala-kepala suku, dan semua datuk dikampung tersebut itulah yang memilih kepala negeri, yang menjalankan pemerintahan sehari-hari. Tiap keputusan yang bersangkutan dengan penduduk kampung itu, diambil oleh rapat penghulu yang diadakan disebuh balairung. Datuk-datuk itulah yang berpengaruh didalam rapat dan didalam pergaulan hidup di kampung tersebut, dan mereka digelari rakyatnya datuk, tuanku. Diluar kampungnya mereka tidak berkuasa sama sekali. Kekuasaan tertinggi pada rapat penghulu ini tidak ada lagi, bahkan raja Minangkabau di Pagarrujung tidak kuasa mengubah keputusan sebuah keputusan rapat penghulu, sebab raja hanya merupakan simbol sebkan raja yang memerintah dengan kekuasaan luas atas rakyatnya. Pada masa itu sentralisasi kekuasaan politik tidak ada lagi. Tiap Luhak, laras dan kampung boleh dikatakan berdiri sendiri. Urusan pemerintahannya tidak dapat dicampuri oleh Raja Minangkabau, walaupun orang Minangkabau sangat menghormati rajanya. Bila terjadi sengketa dan perkelahian antar kampung dengan kampung, Raja tidak berhak untuk menyelesaikan. Meskipun rakyat memandang raja orang keramat dan bertuah, tetapi perintahnya banyak tidak dipatuhi oleh orang-orang yang berpengaruh ditiap-tiap kampung.
Lama kelamaan inilah yang menggoyahkan sendi ketertiban didalam negeri. Tiap orang yang berani bertindak, seringkali benar melakukan apa saja yang didorong oleh nafsunya. Raja Pangurrujung dengan empat wakilnya, Besar Empat Balai, Indomo di Suruaso, Titah di Sungai Tarap, Mangkudum di Sumanik dan Kadi di Padang Ganting tidak berkuasa mengendalikan perbuatan dan menjamin keamanan rakyatnya. Kelemahan ini disebabkan oleh tindakan-tindakan raja-raja Minangkabau dulu yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada orang-orang besar disetiap Lahuk, laras dan kampung hingga masing-masing orang berkuasa di daerahnya. Mereka dibantu oleh penghulu-penghulu dikampungnya dan kerapatan merekalah yang menjaga keamanan dan memenuhi tuntutan adat. Akhirnya perintah raja dapat dipatahkan oleh kerapatan penghulu tersebut. Dan sejak itu timbullah anarki, meskipun belum berupa kemajuan besar.
2. PENYEBAB PERANG PADERI
Perang yang berkobar di minangkabau pada permulaan abad ke-19 bertali-temali dengan persaingan ekonomis antar dua kekuatan kolonial dan Asia Tengara ketika itu, Inggris dan Belanda. Masing-masing pihak berusaha menguasai Selat Sumatera, yang merupakan urat nadi lalu lintas laut antara India dan Cina. Sumatera memegang “key-position” untuk menguasai jalan dagang penting sepanjang zaman itu. Itulah sebabnya maka Belanda berusaha keras memenanamkan pengaruh politiknya di Sumatera sejak permulaan abad ke-19 dan melancarkan di India. Sejak itu secara sistematis Inggris berusaha mendesak Belanda dari daerah-daerah yang dikuasai di Indonesia. Yang menyebabkan pertentangan kepentingan antara dua kekuatan kolonial itu. Terutama di daerah Selat Sumatera. Peneng, pintu ke Selat Sumatera disebelah Utara, diduduki oleh Inggris (1786). Dalam masa perang Napoleon (1793-1815) daerah kuasa Belanda di Indonesia di satu demi satu jatuh ketangan Inggris. Bandar Padan, digabungkan dengan Natal di sebelah Utara dan Bengkulu disebelah Selatan (1795-18190). Sesudah Napoleon kalah (1815), peta Eropa diperbaharui dan daerah-daerah takluk Belanda dan Inggris di Asia Tenggara mengalami perubaha-perubahan penting. Perjanjian Wina (1814-1815) dalam banyak hal disebut oleh Inggris. Pada tahun 1814 tercapai persetujuan antara Inggris dan Belanda , “Perjanjian London I” Inggris mengembalikan daerah-daerah tahlikan Belanda yang didudukinya selama perang Napoleon, pelaksanaan persetujuan itu selalu diundur-undur waktunya oleh Inggris.
Dipesisir Inggris diwakili oleh Raffles, seorang tokoh kolonial yang mempunyai pandangan politik tajam dan jauh kedepan. Ia berusaha meyakinkan pemerintahanya. Agar kota Padang tidak dikembalikan kepada Belanda. Cita-citanya mengisolir Belanda di Padang dengan mendirikann pos-pos Inggris di Minagkabau. Dalam tahun 1818 ia mengadakan “perjalanan ilmiah” ke Alam Minangkabau. Tentara Inggris ditepatkan di pos simawang, dipesisir dengan alasan yang sama, “bagi kepentingan ilmu pengetahuan. ”Natal disebelah Utara dan Bangkahulu disebelah Selatan ialah pos-pos Inggris dopesisir Barat Sumatera, yang tiap saat bisa mengancam kedudukan Belanda di Padang. Raffles melihat kemungkina-kemungkinan besar bagi kepentingan politik dan ekononomi Inggris di Minangkabau dibawah pengawasan Inggris, karena ingin menjadikan Alam Minangkabau, batu loncatan untuk menguasai seluruh Sumatera. Sungai-sungai besar seperti Batang Hari dan Siak yang berasal dari Minangkabau, dapat digunakan sebagai jalan dagang, yang menghubungkan daerah pedalaman Sumtera dengan Selat Sumatera. Raffles juga merencanakan pembanguna jalan raja yang mempertalikan ujung Utara Sumatera (Aceh) dengan ujung Selatanya (Lampung). Rencana-rencana yang sangat ambisius itu tidak dapat disetujui oleh pemerintahanya, East India Company (EIC).
Gagal di pesisir, Raffles mengalihkan perhatianya kedaerah Selat Sumatera. Dalam tahun 1819 dibelinya pulau Tumasik dari kerajaan Johor dan dibangunaya disana Bandar Singapura. Dengan dikuasainya Penang disebah Utara dan di Singapura disebelah Selatan Semenanjung Malaya, terancamlah kedudukan Belanda di Bandar Malaka yang dikuasainya sejak tahun 1641. Singapura cepat berkembang menjadi pusat niaga penting di Asia Tenggara dan melemahkan posisi Belanda bukan hanya disekitar perairan Selat Sumatera, tetapi juga di Jawa (Batavia). Inggris mulai pula meluaskan perniagaannya ke Aceh, Riu dan Siak dan berusaha keras mengikat daerah-daerah itu dengan perjanjian-perjanjian dagang. Diplomasi Inggris lebih luwes dari pada Belanda dan membuka kemungkinan akan berhasil baik rencana Raffles yang diambil alih oleh Pemerintah Inggris. Daerah pesisir Timur Sumatera memperoleh barang-barang keperluanya dari Belanda lewat Padang melalui Alam Minangkabau. Kegiatang ekonomi Inggris didaerah itu, terutama setelah bandar Singapura dibangun, sangat melemahkan posisi ekonomi Belanda di Padang. Tidak pula mungkin memerangi daerah pesisir Timur, sebab berarti menghalau daerah itu kedalam pelukan politi-ekonomi Inggris. Satu-satunya jalan yang terbuka bagi Belanda, ialah menguasai daera “supplier” bahan-bahan yang diperjual-belikan dipesisir Timur. Daerah itu ialah Alam Mingkabau. Dengan dikuasai Alam Minagkabau, arus dagang kepesisir Timur dapat dihambat dan disalurkan ke pesisir dengan Padang sebagai pusatnya. Terhenti arus dagang kepesisir Timur berarti pukulan ekonomis bagi Inggris. Di Alam Minangkabau sendirilah telah timbul dan berkembang satu kekuatan politik, yang merupakan ancaman bagi Belanda di Pesisir, yaitu Gerakan Padri. Dipesisir kaum Padri berhubungan dagang dengan Inggris melalui Tiku, ketiagan (Air Bagis) dan Pariman, kegiatan-kegiatan yang dianggap oleh Belanda mengancam kepentingannya, dan menambahkan unsur ketegangan politik antara Belanda dengan Inggris di Asia Tengara. Usaha Belanda meluaskan pengaruh Politiknya ke Alam Minangkabau mempunyai dua tujuan, yang hendak dicapainya sekaligus. Melemahkan posisi ekonomi Inggris dipesisir Timur dan mencegah penyusupan pengaruh politik mereka kedaerah pedalaman Sumatera serta mencegah perembesan pengaruh idiologi politik kaum Padri ke Pesisir. Dalam konteks inilah perang kolonial dilancarkan oleh Belanda di Minang kabau (1821-1845) harus kita tinjau dan dalam hubungan ini pula perlawanan-perlawanan sengit yang dilakukan rakyat Minangkabau harus kita nialai.
3. PERTEMPURAN ANTARA KAUM ADAT DAN KAUM AGAMA
Dengan pertempuran di Batu Batabuh dan pembunuhan atas bibi Tuanku nan Rintjeh ini, di Luhak Agam mulailah mengamuk antara agama dan adat, kebencian mulai menyala-nyala. Oran keluarga berselisih, adik dengan kakak bermusuh, malahan anak dengan kakak timbul pertikaian paham. Setengah orang membela agama, sebagian lagi membela adat. Di Minangkabau yang tadinya belum dipanaskan oleh pemusuhan besar, kini timbul dua golongan yang bertentangan paham dan perbuatannya. Selama empat bulan setelah pertempuran di Batu Batabuh penganjur-pangajur Paderi gian sekali giat sekali menyebaran paham baru dengan paksaan dan kekarasan sampai rakyat takut semuanya. Dimana-mana mereka membuat kebinasaan, membakar dan merusak gelanggang dan tempat orang mengadu ayam dan main dadu, memukuli dan membunuh orang-orang yang sedang mengadu ayam dan berjudi. Sebaliknya, kaum adat tiap kampung melawan dengan keras membakar dan merusak masjid, surau dan kitab-kitab kaum paderi. Tuanku-tuanku Paderi mulanya merampas kekuasaan penghulu dikampungnya dan diserahkan kepada guru agama. Tuanku nan Rintjeh memperkuat kampungnya, Bansa dan dari sini dimaklumkannya perang kepada penduduk Kamang Bukit dan kepada semua orang yang enggang sembahyang. Karena penduduk Kamang Bukit tidak mau menyerah, maka kampung itu digempur, dibakar, dirampoki dan ditundukkan. Penduduk kampung yang ditundukkan ini, oleh barisan Tuanku nan Rantjeh tidak diapa-apakan, mereka hanya diharuskan membayar upeti dan menganut paham baru. Kemudian kampung-kampung lain yang tidak mau diperintah oleh kaum agama, ditundukkan dengan kekerasan senjata. Orang-orang yang tidak menurut paham baru didenda berat sekali, atau hartanya dirampas, dan siapa yang melawan dihukum mati atau dijadikan budak. Ditiap-tipa kampung yang dikalahkan, ditundukkan dua alim yang diberi pangkat Tuanku Imam dan Tuanku Kadi. Yang pertama bertugas memberi penerangan tentang agama dan mengenai upacara ibadat, yang kedua menghukum tiap orang yang dipandang bersalah.
Guru-guru agama bertambah rajin dan bersemangat menyebarkan paham baru ini. Karena sangat ingin memegang kekuasaan seperti kawan-kawannya yang telah berpangkat Imam dan Kadi dibeberapa kampung, maka dengan berbagai muslihat dan kadang-kadang kecurangan, dipaksanya datuk-datuk melepaskan kekuasaannya, dan menyerahkannya kedalam kaum Paderi. Kampung-kampung yang menyerah diletakkannya dibawah kekuasaan kaum Paderi. Tuanku nan Rintjeh dan kawan-kawannya kemudian menyerang distrik Tilatang, yang terjadi dari sepuluh kampung. Rakyat distrik yang kalah ini harus menganut paham baru dan membayar upeti 400 ringgit. Tidak lama kemudian datang giliran Padang Tarab, yang akhirnya takluk. Sebaliknya kampung Ujung Guguk bertahan dengan beraninya, lama sekali mereka tidak dapat dipengaruhi oleh mazhab Wahabi itu. Sesudah itu Tuangku nan Rintjeh dengan berates-ratus pengikutnya berangkat menyerang Matur dan Tjandung, dan banyak lagi kampung lainnya. Luhak Lima Puluh kota yang suka damai itu, setelah menerima surat ancaman dari Tuanku nan Rintjeh, menyatakan sedia menerima paham baru, dan siap membantu pergerakan yang bertugas menyebarkannya. Sebab itu daerahnya terpelihara, tidak ada yang dirusakkan. Ketentraman diselurh Lahuk itu tidak terganggu. Ditiap-tiap kampung yang telah ditakhlukkan diumumkan peraturan:
“….siapa yang mencukur janggutnya didenda 2 suku; yang memepat giginya didenda seekor kerbau; lutut tidak ditutup didenda 2 suku; perempuan yang tidak meutup mukanya didenda 3 suku; jika perempuan berbantah sesama mereka, masing-masing didenda 5 suku; orang tua yang memukul anaknya didenda 2 suku; memanjangkan kuku dihukum dengan memotong kukunya beserta daging ujung jarinya; meminjamkan uang dengan memungut denda bunga didenda 5 kupang; meninggalkan sembahyang sekali, didenda 5 suku, dan jika dua kali terus dihukum mati.” Para pengikut paham baru ini dinamai Paderi, artinya orang yang taat kepada agama yang asli. Juga mereka dinamakan “orang putih” untuk membedakan dengan orang-orang Minangkabau yang lain, yang tidak mau menganut paham baru, yang dinamakan “orang hitam”, sebab biasanya mereka memakai baju hitam. Tetapi peraturan tersebut diatas mudah pula melampaui batas, sebab ada orang yang sebenarnya tidak bersalah, dituduh bersalah, didenda dan dihukum, dan peraturan ini dipergunakan oleh kaum agama untuk membalaskan dendamnya kepada kaum adat. Tiap pelanggaran diusut dengan rajin dan seksama sekali, supaya ada kesempatan untuk menerima uang denda. Kerapkali denda itu ditetapkan menurut kesukaan Tuanku Kadi, dan bila tidak ada pelanggaran, atau sedikit uang denda yang masuk kedalam kas negeri, kerapkali diadakan tuduhan palsu. Malahan kadang-kadang dengan sengaja dan diam-diam ditaruh tembakau atau barang-barang terlarang dirumah orang-orang kaya, supaya mereka membayar denda. Aniaya, kekejaman, dan perbuatan sewenang-wenangnya dilakukan orang dimana-mana, oleh mereka yang jahat tadinya, yang memasuki mazhab Paderi akan mencari keuntungan. Rakyat yang malang selalu hidup didalam kekhawatiran, kalau-kalau barangnya dirampas, jiwanya diancam. Lama-kelamaan mereka putus asa. Kekejaman yang dilakukan atas nama agama, lama-kelamaan melampaui batas peri kemanusiaan. Tuangku nan Rintjeh sendiri akhirnya terkejut dan ngeri melihat akibat penggajaran dan anjurannya. Tadinya beliau menyangka, bahwa tidak akan seberapa akibat dari aksi kekerasannya. Tidak disangkanya pembunuhan atas bibinya akan memberi contoh kepada orang-orang jahat untuk melakukan pembunuhan, perampokan yang menimbulkan kekeruhan, kekacauan, dan kerusakan diseluruh Minangkabauyang sentosa tadinya, yang sangat menghargakan jiwa manusia. Beliau sendiri benci jadinya melihat kebanyakan pengikutnya yang melampaui batas-batas yang telah ditunjukkannya. Tetapi beliau tidak berdaya lagi untuk mencegahnya. Dalam waktu yang pendek hampir seluruh Luhak Agam dan IV Kota memeluk paham Paderi, berkat kegiatan Tuanku nan Rintjeh dan Tuanku Mensiangan. Walaupun Tuanku Kota Tua berdaya upaya menahan tindakan kekerasan Paderi, dan menolong penduduk Penindjauan yang diserang kaum fanatic yang garang-garang itu, kampung Kapas-kapas terbakar juga, sewaktu meletus pertempuran kaum adat dan Paderi disana. Bahkan, surau tempat beliau mengajar dibakar oleh Tuanku Mansiangan. Tetapi penduduk daerah Batipuh yang kemudian mendapat serangan melawan dengan kerasnya. Terutama rakyat Gunung Raja dan Ladang Lawas, mereka bertahan sekuat-kuatnya. Didekat Gunung Bungsu terjadi pertempuran hebat yang banyak menjatuhkan korban jiwa dari kedua pihak. Pertempuran-pertempuran ini sangat melemahkan kaum adat. Sebaliknya Paderi menang dikampung-kampung lain dan dapat dipatahkannya tiap perlawanan kaum adat. Didistrik lain-lain kaum adat bekerja keras menahan tersebarnya paham Paderi, tetapi sia-sia. Celakanya, diantara penghulu-penghulu sendiri tidak ada persatuan, tidak ada puncak pimpinan yang mesti dipatuhi, dan karena itu perlawanannya tidak teratur rapi, seperti serangan Paderi. Dan tambahan lagi, penghulu-penghulu yang suka menonton ajang berlaga itu, tidak tahan bila mereka sendiri harus berkelahi. Paham Paderi semakin tersebar dengan bantuan paksaan dan kekerasan. Tiap kampung yang tadinya didiami oleh tani, tukang dan pedagang yang rajin dan suka damai, kini berubah menjadi kubu. Luhak yang tiga lalu menjadi gelanggang perang, yang kacau-balau. Kampung yang bagus, jelita dan dihiasi rumah besar-besar, didiami oleh beberapa generasi berganti-ganti, kini dibakar menjadi mangsa api. Penduduk yang tenteram sediakala, yang makmur, setengah-tengah menjadi korban kekejaman yang dikobar-kobarkan oleh kebencian, dan yang kebetulan tidak terbunuh, lari terpencar kesana kemari, kedaerah aman yang belum dikuasi oleh Paderi. Kaum adat lumpuh menghadapi paksaan, kekerasan dan semangat Paderi yang fanatik menyebarkan pahamnya.
4. OPERASI-OPERASI MILITER
- Periode 1821-1832
Benteng Simawang merupakan pusat kegiatan militer dan politik Belanda yang pertama di minangkabau. Sikap permusuhan membuat Belanda mendemonstrasikan kemampuan militernya. Sulit Air di Serang pada 28 april 1821. Tetapi serangan Belanda ini gagal demikian pulang serangan dua hari kemudian. Menjelang akhir tahun 1821 Letnan Kolonel Raaff ingin menundukkan kaum Paderi. Ketika Pagarrujung diserang, kaum Paderi meninggalkan pusat kerajaan Minangkabau setelah melakukan perlawanan yang gigih. Belanda mencoba untuk menguasi Lintau, tetapi dapat dikalahkan kaum Paderi. Titik pertahanan kaum Paderi adalah negeri Tanjung Alam. Belanda berhasil menguasi benteng Bonjol, dan Lahuk L-Koto, sebagian besar daerah Minang Kabau kecuali Solok.
- Permulaan Tahun 1833- Permulaan tahun 1834
Diseluh Minangkabau merasa tidak puas dengan motif yang berbeda-beda, maka golongan Paderi dan golongan penghulu saling mendekat, golongan agama dan golongan adat yang bertentangan selama ini. Kedua golongan ini melakukan pertemuan dan mereka bersama-sama ingin mengusir Belanda. 11 Januari 1833 mereka menyerang pos-pos Belanda pada tengah malam. Perlawanan penduduk berkobar juga di Tarantang Tunggang, Lubuk Ambarau dan Rao. Juli 1833 penduduk Buo menyerang Belanda di Tambangan dan Guguk Sigandang dan menghancurkan bentengnya. Kemudian Belanda melakukan agresi militer karena balas dendam terhadap kekalahan sebelumnya, Belanda membunuh para pemimpin mereka, diantaranya ada Tuanku Mansiagan. Pemerintah Hindia Belanda dalam waktu yang sangat lama mempersiapkan perang besar-besaran untuk merebut daerah-daerah sratergis seperti Sipisang, Bukittinggi. Mendengar itu, Tuanku Imam Bonjol tidak tiggal diam dan meningkatkan kegiatan perang. Rencana Van den Bosch untuk menduduki Bonjol menjadi berantakan.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Sebelum bangsa Belanda menginjakkan kakinya di Padang Darat, rakyat daerah yang sangat permai dan subur pada umumnya, hidup dalam kemakmuran. Oleh orang Minangkabau yang berpegang teguh pada tradisi, perkelahian yang berupa perang batu, perang bedil dan perang kesumat ini, dianggap satu adat yang dipusakakan oleh nenek moyangnya. Orang Miangkabau sebelum kedatangan Belanda sering melakukan peperangan antar suku. Dilain sisi masing-masing pihak berusaha menguasai Selat Sumatera, yang merupakan urat nadi lalu lintas laut antara India dan Cina. Pihak Belanda dan Inggris saling berebut menanamkan pengaruh poplitik mereka, sehingga muncul pertentangan antara masyarakat lokal dan pihak Belanda karena pada mulanya Inggris sudah bekerjasama dengan Minangkabau.
Di Minangkabau yang tadinya belum dipanaskan oleh pemusuhan besar, kini timbul dua golongan yang bertentangan paham dan perbuatannya. Selama empat bulan setelah pertempuran di Batu Batabuh penganjur-pangajur Paderi gian sekali giat sekali menyebaran paham baru dengan paksaan dan kekarasan sampai rakyat takut semuanya. Setelah kedua belah pihak ini menyadari pentingnya persatuan mereka kemudian bersatu untuk mengusir Belanda dari tanah Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Imran, Amrin, dkk. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bharatara.
Radjab, Muhamad. 1964. Perang Paderi. Jakarta. Balai Pustaka.
Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar