Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Sejarah Pemikiran
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag.

Disusun oleh:
Paulinus Yanto
17718251002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan saya semoga makalah
ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.
Makalah ini saya akui masih
banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena
itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Yogyakarta, 17 Mei 2018
Paulinus Yanto
Daftar
Isi
Kata Pengantar........................................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
A. Latar Belakang Pendidikan
Kuntowijoyo.......................................................................... 3
B. Karya-karya Kuntowijoyo.................................................................................................. 4
C. Penjelasa Sejarah................................................................................................................ 5
D. Konsep Ilmu Sosil Profetik................................................................................................ 8
E. Sejarah Sosial...................................................................................................................... 13
BAB III Penutup.................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka......................................................................................................................... 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kuntowijoyo
merupakan seorang cendikiawan yang terlahir dari keluarga kelas priyayi.
Sebagai keluarga priyayi, Kuntowijoyo sangat taat dalam kehidupahn beragama.
Latar belakang keluarga yang demikian sangat berpengaruh dalam pemikiran Kuntowijoyo. Ketaatan
keluarga dalam kehidupan beragama yang dirasakan Kuntowijoyo dari sejak kecil
dan keterlibatan keluarganya dalam organisasi Islam seperti Muhhamadiyah turut
serta mempengaruhi pemikirannya.[1]
Kuntowijoyo
terlibat aktif dalam sebuah organisasi Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam
(LEKSI) ketika ia kuliah di UGM.[2] Keterlibatan
Kuntowijoyo banyak memberi manfaat bagi perkemabangan pribadi, intelektualitas
dan keseniannya. Selain itu Kuntowijoyo banyak mendalami karya-karya Socrates,
Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Ibnu Rusyd, Ibn Sina, Al-Ghazali, Hamzah
Fansuri, Karl Max, Jurgen Habermas juga berpengaruh dalam memperluas
pemikirannya.[3]
Kuntowijoyo
banyak menyoroti fenomena sejarah kesadaran
sosial umat Islam. Tentang proses perubaha umat Islam dalam menyikapi
perkembangan perkembangan global dengan industrialisasi. Serta bagaimana cara
umat Islam mampu melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Perubahan
yang didasarkan pada cita-cita humanisme, liberasi, dan transendensi. Dengan berpegang pada
Al-quran, Kuntowijoyo menawarkan bentuk penafsiran Islam yang lebih fungsional,
yang mampu menjadi titik pijak penerapan ajaran Islam itu sendiri, mampu
diterapkan dalam realitas masa kini. Memasuki masyarakat modern dan industrial,
rasionalisasi dan sistematiasi menjadi hal utama. Indonesia dengan masyarakat
yang plurar masih mencari jalan untuk menuju industrialisasi.
Uraian
di atas merupakan sedikit gambaran dari gambaran dan pemikiran Kuntowijoyo.
Masih sangat banyak pemikiran Kuntowijoyo yang berguna untuk kehidupan saat
ini. Oleh sebab itu masih sangat diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai
pemikiran Kuntowijoyo.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
latar belakang pendidikan Kuntowojoyo?
2. Bagaimana
pemikiran Kuntowijoyo dalam bidang Sejarah?
3. Bagaimana
pandangan Kuntowijoyo terhadap humanisme, liberasi dan transedensi ilmu sosial
ekonomi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Pendidikan Kuntowijoyo
Pada
tahun 1950, Kuntowijoyo masuk Sekolah Rakyat Negeri Ngawonggo dan menamatkan Sekolah
Dasar pada tahun 1956. Selain itu, Kuntowijoyo aktif dalam keagamaan yang dapat
dilihat dari kegiatan harian Kuntowijoyo. Setelah pulang sekolah Kuntowijoyo
selalu pergi ke surau untuk belajar agama bersama teman-temannya ke sekolah
Arab. Malamnya ia kembali lagi ke surau untuk mengkaji sastra. Di surau ia
banyak belajar menulis puisi dan mendongeng. Kesukaan Kuntowijoyo terhadap seni
mulai sejak dini dan dikembangkan dengan bergabung dalam organisasi Pelajar
Islam Indonesia semasa ia di Sekolah Rakyat.[4]
Selain
kegiatan yang telah diuraikan di atas, Kuntowijoyo suka mendengarkan siaran
Radio RRI Surakarta yang menggelar siaran sastra. Pada siang hari ia
menyempatkan diri untuk pergi ke Kota Kecamatan, memasuki gedung perpustakaan
(konon miliknya Masyumi), disitulah Kuntowijoyo (siswa Madrasah Ibtidaiyah dan
SRN) sudah melahap kisahkisah Karl Max, pengarang cerita-cerita petualangan di
negeri Balkan dan suku Indian.[5]
Pada
usia SMP, Kuntowijoyo mulai membaca karya-karya Nugroho Nutosusanto, Sitor Situmorang dan karya0karya
yang dimuat dalam majalah Kisah. Semasa SR hingga SMP Kuntowijoyo sangat
tertarik terhadap dunia sastra sehingga ia selalu membaca, mendengar siaran
radio dan menulis. Kuntowijoyo mulai menulis cerita pendek (cerpen) ketika ia
di bangku SMP 1 Klaten. Setelah lulus SMP ia mengikuti seseorang yang
disebutnya sebagai mbah cilik. Mbah cilliknya seorang pedagang batik yang hidup
di Solo dan banyak menyimpan banyak buku sastra ensiklopedia. Di masa SMA
inilah Kuntowijoyo banyak membaca karya Charles Dickers dan Anton Chekov. Sejak
masa SMP dan SMA, Kuntowijoyo selalu menulis cerita dan sinopsis yang
bertuliskan tangan.[6]
Setelah
lulus SMA ia diterima di Fakultas Sastra UGM dan menyelesaikan studinya pada
tahun 1969. Setelah lulus S1 ia langsung di angkat sebagai staf pengajar di
tempat ia menimba ilmu sastra. Pada tahun 1974 ia mendapat gelar MA dari
Universitas of Connecticut atas beasiswa dari Fulbirght. Pada tahun 1980 ia
meraih gelar Pd.D dari Columbia University dengan judul disertasi Social Change In an Agrarian Sociaty; Madura
1850-1940. Jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Budaya UGM
diterimanya pada tahun 1001 melalui pidato pengukuhan berjudul “Periodesasi
Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi dan Ilmu”.
Semasa
ia menjadi mahasiswa di UGM, ia bersama teman-temannya mendirikan Leksi
(Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam) yang bernaung di bawah PERTI. Lembaga
inilah yang banyak mempengaruhi perkembangan Kuntowijoyo. Selain aktif sebagai
pengajar, ia juga aktif di sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun profesi.
Di Muhammadyah ia pernah menjadi anggota Majelis Pertimabangan PP Muhammadyah.
Kuntowijoyo juga terlibat dalam mendirikan Ikatan Cendikiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI) dan menjadi anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan Studi
Kebajikan, sebuah pusat studi di Yogyakarta yang dipimpin oleh Amien Rais.[7]
B.
Karya-Karya
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
merupakan seorang budayawan, satrawan, sejarawan, inteletual muslim. Ia banyak
menulis buku, novel, cerpen, puisi, pemikir dan penulis. Kuntowijoyo bisa
dikatakan sebagai sosok yang lengkap dalam bidang keilmuan.[8]
Karya-karya Kuntowijoyo lebih dari 50 buku yang ia tulis, antara lain:
a. Karya-karya
di Bidang Sejarah, Agama, Politik, Sosial dan Budaya
1.
Dinamika Sejarah Umat Islam (1985)
2.
Budaya dan Masyarakat (1987)
3.
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi
(1991)
4.
Radikalisasi Petani (1994)
5.
Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994
6.
Metodologi Sejarah (1994)
7.
Pengantar Ilmu Sejarah (1997)
8.
Identitas Politik Umat Islam (1997)
9.
Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama,
Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001)
10.
Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang
Realitas: Esai-esai Budaya dan Politik (2002)
11.
Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris: Madura 1850-1940(2002)
12.
Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta
1900-1915 (2004)
13.
Islam sebagai Ilmu: Epistemolo gi,
Metodologi, dan Etika (2004)
b. Karya-karya
di bidang sastra
1. Naskah
Drama
·
Rumput-rumput Danau Bento (1966)
·
Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda
dan Cartas (1972)
·
Topeng Kayu (1973)
2. Puisi
·
Isyarat (1976)
·
Suluk Awang-Uwung (1976)
·
Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)
3. Novel
·
Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari
(1966)
·
Pasar (1972)
·
Khotbah di Atas Bukit (1976)
·
Impian Amerika (1997)
·
Mantra Pejinak Ular (2000)
·
Wasripin dan Satinah (2003)
4. Cerpen
·
Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1993)
·
Pistol Perdamaian (1995)
·
Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1996)
·
Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997)
·
Mengusir Matahari: Fabel- fabel Politik
(1999)
C.
Penjelasan
Sejarah
Sejarah
merupakan ilmu yang mandiri, artinya sejarah mempunyai filsafat sendiri,
permasalahan sendiri dan penjelasan sendiri.[9]
Sejarah
merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau di masa
lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus
menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni
pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional
dan sekaligus identitas nasionalnya. Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya
dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan memorinya, ialah orang
yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian atau identitasnya.
Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat diambil beberapa butir kesimpulan antara lain: 1)
untuk mengenal identitas bangsa diperlukan pengetahuan sejarah pada umumnya,
dan sejarah nasional khususnya. Sejarah nasional mencakup secara komprehensif
segala aspek kehidupan bangsa, yang terwujud sebagai tindakan, perilaku,
prestasi hasil usaha atau kerjanya mempertahankan kebebasan atau kedaulatannya,
meningkatkan taraf hidupnya, menyelenggarakan kegiatan ekonomi, sosial,
politik, religius, lagi pula menghayati kebudayaan politik beserta ideologi
nasionalnya, kelangsungan masyarakat dan kulturnya; 2) sejarah nasional mencakup
segala lapisan sosial beserta bidang kepentingannya, subkulturnya. Sejarah
nasional mengungkapkan perkembangan multi etnisnya, sistem hukum adatnya,
bahasa, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan
kekhasan sejarah menurut Dilthey yang membagi ilmu sejarah menjadi dua yaitu
sejarah tentang dunia luar” (ilmu-ilmu alam) dan ilmu tengan dunia “dalam”.
Ilmu “dalam” yang dimaksud berhubungan dengan
ilmu-ilmu kemanusiaan seperti ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi
sosial, psikologi, perbandingan agama, ilmu hukum, ilmu politik, filologi dan
kritik sastra.[10]
Memang kenyataannya hidup dan sejarah mempunyai arti yang sama seperti
huruf-huruf dalam satu kata.[11]
Pelajaran
sejarah bertujuan menciptakan wawasan historis atau perspektif sejarah. Wawasan
historis lebih menonjolkan kontinuitas segala sesuatu. Being adalah hasil
proses becoming, dan being itu sendiri ada dalam titik proses becoming.
Sementara itu yang bersifat sosio-budaya di lingkungan kita adalah produk
sejarah, antara lain wilayah RI, negara nasional, kebudayaan nasional. Sejarah
nasional multidimensional berfungsi antara lain: mencegah timbulnya determinisme,
memperluas cakrawala intelektual, mencegah terjadinya sinkronisme, yang
mengabaikan determinisme (Kartodirdjo, 1993; 51).
Di
samping itu, pelajaran sejarah juga mempunyai fungsi sosio-kultural, membangkitkan
kesadaran historis. Berdasarkan kesadaran historis dibentuk kesadaran nasional.
Hal ini membangkitkan inspirasi dan aspirasi kepada generasi muda bagi
pengabdian kepada negara dengan penuh dedikasi dan kesediaan berkorban. Sejarah
nasional perlu menimbulkan kebanggaan nasional (national pride), harga diri,
dan rasa swadaya. Dengan demikian sangat jelas bahwa pelajaran sejarah tidak
semata-mata memberi pengetahuan, fakta, dan kronologi.
Menurut
Kuntowijoyo sejarah memiliki fungsi intrinsik dan ekstinsik. Fungsi intrinsik
diantaranya adalah:
1. Sejarah
sebagai ilmu, berkembang dengan cara (a) perkembangan dalam filsafat, (b)
perkembangan dalam teori sejarah, (c) perkembangan dalam ilmu-ilmu lain, (d)
perkembangan dalam metode sejarah.
2. Sejarah
sebagai cara mengetahui masa lampau, bersama dengan mitos sejarah adalah untuk
mengetahui masa lampau yang setidaknya menghasilkan dua sikap yaitu menerima
dan menolak.
3. Sejarah
sebagai pernyataan pendapat, banyak penulis sejarah yang menggunakan ilmunya
untuk menyatakan pendapat.
4. Sejarah
sebagai profesi, sebagai penulis atau peneliti sejarah.[12]
Adapun
kegunaan ekstrinsiknya yaitu sebagai pendidikan moral, penalaran, politik,
kebijakan, perubahan, masa depan, dan keindahan. Misalnya, pertama, sebagai
pendidikan penalaran, maka seorang yang belajar sejarah tidak akan berpikir
monokausal, yaitu pikiran yang menyatakan bahwa sebab terjadinya peristiwa itu
hanya satu. Sejarah harus berpikir plurikausal, yang menjadi penyebab itu
banyak. Dengan demikian, ia akan melihat segala sesuatu mempunyai banyak segi.
Kedua, sebagai pendidikan politik, misalnya, pada Zaman Orde Lama dikenal ada
indoktrinasi. Indoktrinasi itu dilakukan pada organisasi dan melalui sekolah.
Tujuan dari pendidikan politik itu ialah dukungan atas politik kekuasaan dengan
mendorong perbuatan-perbuatan revolusioner dan menyingkirkan kaum
kontrarevolusi. Sementara itu, pada Zaman Orde Baru dikenal adanya
penataran-penataran, tetapi dengan tujuan lain, yaitu untuk pembangunan.
Ketiga,
sejarah sebagai pendidikan perubahan diperlukan oleh politisi, ormas-ormas,
usaha-usaha, bahkan pribadi-pribadi. Dalam dunia yang semakin sempit ini, tidak
ada yang lebih cepat daripada perubahan. Misalnya, untuk pribadi, kiranya
membaca autobiografi dan biografi tokoh-tokoh dalam dunia sangat penting.
Autobiografi dan biografi yang pasti bercerita tentang perubahan, akan memberi
inspirasi untuk melangkah. Keempat, sebagai pendidikan masa depan, di beberapa
universitas negara maju, seperti Amerika, history of the future sudah
diajarkan. Oleh karena itu, sebagai negara yang mengalami industrialisasi
belakangan, Indonesia mempunyai keuntungan, karena dapat belajar dari negara
industrial dan negara pasca-industri.
Sejarawan
menurut Kuntowijoyo tidak hanya mereka yang terdidik sebagai sejarawan, namun
dapat datang dari disiplin lain dari masyarakat. Kuntowijoyo mengelompokkan
sejarawan menjadi tiga golongan yaitu: 1) Sejarawan profesional 2) Sejarawan
dari disiplin lain 3) Sejarawan dari masyarakat.[13] Dalam
penelitian sejarah, Kuntowijoyo menyusun dalam lima tahap, yaitu: pemilihan
topik, pengumpulan sumber, interpretasi: analisis dan sintesis daterakhir
adalah penulisan.
D.
Konsep Ilmu Sosil Profetik
(Humanisasi, Transendensi, Liberasi, (Menurut Kuntowijoyo)
a. Pengertian
Ilmu Sosial Profetik
Ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hukum sebab akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya,
baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya
(jika dilihat dari dalam). Ilmu
sering di umpamakan sebagai cahaya, pelita, atau lentera yang dapat menerangi
perjalanan hidup sesesorang. Dengan demikian mutu dan besarnya cahaya yang
dicerminkan oleh kedalaman dan keluasan ilmu akan sangat menentukan luasnya
jangkauan seseorang dalam menjalani hidup dan menguasai hidupnya.[14]
Banyak orang bijaksana, tetapi tidak
semua orang bijaksana ialah orang yang benar. Ilmu didapatkan melalui sekolah,
kebijaksanaan dapat lewat pengalaman atau pembaca, tetapi kebenaran datang dari
Tuhan. Orang tidak boleh lupa ujung objektivitas ilmu. Dengan menyadari
keterbatasan ilmu itu, dalam masyarakat industri lanjut, kedudukan ilmu dan
teknologi akan makin penting. Pengetahuan dan teknologi adalah kekuatan
sejarah.[15]
Kuntowijoyo menjelaskan, bahwa dalam
ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia diawali dengan filsafat,
antroposentrisme, diferensiasi, hingga menjadi ilmu sekular. Filsafat
adalah awal berangkat ilmu-ilmu sekuler. Rasionalisme yang berkembang pada abad
15 M dan 16 M menolak teosentrisme abad pertengahan. Wahyu dibuang, rasio diagungkan.
Dalam ilmu sosial profetik, Kontowijoyo
menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih arah,
sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Ilmu sosial tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi petunjuk
ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial
profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan
cita-cita dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik
secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakat. Bagi kita itu berarti perubahan yang berdasarkan pada cita-cita Humanisasi/emansipasi,
libersi, dan transedensi.[16]
Ketiga pilar inilah yang kemudian akan
dipakai sebagai landasan untuk mengembangkan ilmu sosial profetik, yang sesuai
dengan dengan semangat peradaban Barat yang percaya kepada the idea of
progress, demokrasi, HAM, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme,
dan selfishness. Bahkan seorang ateis seperti J.P. Sartre menyebutkan
eksistensialismenya sebagai humanisme. Mereka ingin humanisation, memanusiakan
manusia, atau dalam bahasa agamanya mengembalikan manusia pada fitranya, serta
akan menjadi ciri peradigmatisnya.[17]
b. Humanisasi
Manusia tidak dengan sendirinya bersifat
manusiawi sesudah kelahirannya.[18] Kelahiran
merupakan langkah awal manusia mengenal dunia, walaupun tidak sepenuhnya sadar,
setidaknya manusia memiliki pengakuan akan eksistensinya. Artinya, wujudnya
sebagai entitas yang terdiri dari tulang yang dibungkus daging dan kulit dengan
segala ciri yang dimiliki, manusia pada umumnya mampu dikenali dan diterima oleh
manusia lain. Hal itu menunjukan bahwa manusia ‘baru’ siap untuk menghadapi
dunia dengan segala dinamikanya. Ironisnya, kelahiran saja tidak cukup
menjadikannya manusiawi, terdapat aspek lain yang tidak kalah penting untuk
menjadikan manusia sebagai sosok yang manusiawi, yaitu aspek pendidikan.
Pendidikan dimulai sejak manusia dilahirkan.
Pernyataan itu tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, mengingat adanya asumsi lain
yang layak dipertimbangkan bahwa pendidikan dimulai semenjak dalam kandungan. Terlepas
dari perbedaan waktu, kedua asumsi tersebut menunjukan bahwa pendidikan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia sepanjang zaman.[19] Dalam
arti paling mendasar, pendidikan didefinisikan sebagai proses memanusiakan manusia,
dalam artian manusia yang didudukan sebagai makhluk hidup dengan segala
keunikannya serta tidak mereduksinya menjadi objek yang tidak memiliki diri.
Dengan kata lain, pendidikan sebagai proses pembentukan manusia yang berbudaya.[20]
Humanisasi bertujuan untuk memanusiakan
manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi, karena
masyarakat industrial kita jadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak
tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivitas ketika berada
ditengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar.[21]
Dalam tema umum humanisasi dapat
dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi
(objektivitas teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas
kolektif, dan kriminalitas), dan loniliness (spivatisasi, individuasi).
Dehumanisasi terjadi antaranya karena dipakainya teknologi (baik berupa
alat-alat fisik maupun metode)[22]
c. Liberasi
Secara etimologi, liberasi berasal dari
bahasa latin liberare yang artinya memerdekakan. Secara istilah,
liberasi dapat diartikan dengan pembebasan, semuanya dengan konotasi yang
mempunyai signifikansi sosial.[23] Liberasi
dalam pandangan Kuntowijoyo adalah bahasa ilmu dari nahi munkar. Jika
dalam bahasa agama nahi munkar artinya mencegah dari segala tindak
kejahatan yang merusak, memberantas judi, lintah darat, korupsi, dan lainnya,
maka dalam bahasa ilmu, nahi munkar artinya pembebasan dari kebodohan,
kemiskinan, ataupun penindasan.[24]
Liberasi yang dimaksud Kuntowijoyo dalam
ilmu sosial profetik adalah dalam konteks
ilmu, yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Nilai- nilai liberatif
dalam ilmu sosial profetik
dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang
memiliki
tanggung jawab profetik. Tujuan
liberasi dalam adalah pembebasan manusia dari kekejaman kemiskinan
struktural,
keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang
menindas,
dan hegemoni kesadaran palsu. Semangat liberatif ini dicari pada nilainilai
profetik
transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu
yang
obyektif faktual.[25]
Liberasi perspektif yaitu mengambil
semangat dari teologi pembebasan,
yang mempunyai empat sasaran
utama, yaitu liberasi dalam sistem pengetahuan, sistem
sosial,
sistem ekonomi, dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak
dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagi makhluk yang merdeka dan mulia.
Teologi tidak hanya bicara tentang Tuhan
saja, namun lebih dari itu. Teologi berbicara tentang hubungan ketuhanan dan
kemanusiaan, teologi harus kontekstual, artinya dapat memecahkan
masalah-masalah dalam masyarakat. Hal kontektual yang dimaksud misalnya
pembebasan terhadap pemerasan masyarakat, membantu anak yatim, membantu kaum
yang lemah miskin dan tersingkir untuk bangkit dari kemiskinan.[26]
d. Transendensi
Transenden
terdiri dari dua kata: kata "trans" yang berarti seberang, melampaui,
atas, dan kata "scandere" yang berarti memanjat. Istilah ini
bersamasama dengan bentuk-bentuk lain seperti "transendental",
"transendensi", dan "transendentalisme", digunakan dengan
sejumlah cara, dan dengan sejumlah penafsiran tersendiri dalam sejarah
filsafat.[27]
Beberapa pengertian dari transenden adalah: lebih unggul, agung, melampaui,
superlatif, melampaui pengalaman manusia, berhubungan dengan apa yang selamanya
melampaui pemahaman terhadap pangalaman biasa dan penjelasan ilmiah.[28]
Transendensi mempunyai makna teologis, yakni ketuhanan,[29]
maksudnya bermakna beriman kepada Tuhan. Transendensi bertujuan menambahkan
dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme,
materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya, menghendaki manusia untuk mengakui
otoritas mutlak Tuhan.
Transedensi banyak yang meramalkan bahwa
pada abad ke-21 spiritualisme akan berkembang. Kalau betul ciri dari peradaban post-modernism
adalah dedifferentiation (agama akan menyatu dengan “dunia”), yang
pasti akan ditafsirkan oleh orang Barat sebagai “agama” yang lebih tinggi dari
agama-agama yang ada. Dalam filsafat Barat ada“teori spritual” yang mengatakan
bahwa sejarah itu bergerak melingkar seperti per, setiap kali selalu kembali
berputar seperti yang dulu, tetapi selalu lebih tinggi dari semula. Secara ringkas
agama bukan yang melembaga, karena dalam pandangan Barat dikatakan bahwa masa
depan manusia ialah sekuralisme.[30]
Tujuan transendensi adalah untuk
menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan, membersihkan diri dari arus
hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden.[31]
Kita
percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri
dengan
mengingat kembali dimensi transedental yang menjadi bagian sah dari fitra
kemanusian.
Kita ingin merasakan kembali dunia sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin
hidup
kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita
bersentuhan
dengan kebesaran Tuhan.[32]
Dimensi transendental adalah bagian sah
dari asal kemanusiaan sebagai bentuk persentuhan dengan kebesaran Tuhan. Jika
banyak yang sepakat bahwa abad ke-21 adalah peradaban postmodernisme, maka
salah satu ciri dari postmodernisme adalah semakin menguatnya spiritualisme,
yang salah satu tandanya adalah dedifferentiation, yaitu agama akan
menyatu kembali dengan dunia.[33]
Nilai transendensi menghendaki manusia
meletakkan posisi Tuhan sebagai pemegang otoritas tertinggi. Dalam perspektif
Roger Garaudy, sebagaimana dikutip M.Fahmi, transendensi menghendaki kita
mengakui keunggulan norma - norma mutlak yang melampaui akal manusia.[34] Struktur
transendental oleh Kuntowijoyo banyak dipengaruhi oleh Tokoh Barat seperti jean
Pigeat tentang “struktur” dan Michael Lane tentang “strukturalisme” serta Roger
Garudy tentang “transendental”.[35]
Ciri-ciri struktur transendental oleh Kuntowijoyo sebagai berikut:
a. Keseluruhan
(wholeness), suatu koherensi (keterpaduan). Struktur bukan sekedar terdiri dari
kumpulan unsur-unsur yang lepas. Unsur-unsur dari suatu struktur tunduk kepada
hukum yang mengatur secara keseluruhan sistem tersebut. Hukum pengatur struktur
tidak dapat disusutkan ke dalam penjumlahan dari hukum yang mengatur
satu-demi-satu unsur-unsurnya. Unsur-unsur tidak berdiri sendiri secara
terpisah, namun menjadi milik sebuah struktur.
b. Perubahan
Bentuk (transformation), struktur itu dinamis, maka dari itu struktur selalu mengalami
perubahan bentuk. Struktur mampu memperkaya diri dengan menambah variasi bahan-bahan
baru. Bahasa, mislanya, dapat menambah variasi ungkapan-ungkapannya tanpa harus
keluar dari strukturnya.
c. Pengaturan
Diri Sendiri (self-regulation), penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada
di luar struktur, tetap memelihara struktur itu. Dengan demikian, sebuah struktur
itu melestarikan diri sendiri dan tertutup dari kemungkinan pengaruh luar.[36]
E.
Sejarah
Sosial
Dalam penulisan sejarah, Kuntowijoyo
banyak menggunakan teori-teori ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi,
sosiologi, ekonomi. Penulisan sejarah seperti ini tentu merupakan hal yang baru
dikalangan sejarawan Indonesia. Kuntowijoyo menjadi orang yang memperkenalkan
penulisan sejarah dalam skala yang lebih luas.
Penulisan sejarah yang dilakukan
Kuntowijoyo bisa dikatakan sebagai anti tesis terhadap penulisan sejarah yang
terlalu naratif. Kuntowijoyo menekankan
pada penerapan ilmu sosial dalam penulisan sejarah. Kuntowijoyo menekankan hal
demikian karena memang antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan timbal
balik.[37]
Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial begitu juga sebaliknya. Penulisan
sejarah baru tidak lepas dari perang penting ilmu-ilmu sosial, penjelasan
sejarah didasarkan pada ilmu-ilmu sosial dan berlajar sejarah tidak dapat lepas
dari ilmu sosial.
Kegunaan timbal balik antar sejarah dan
ilmu sosial pertama sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi yang biasa
dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial, kedua
permsalahan sejarah dapat menjadi permasalahsan ilmu-ilmu sosial, ketiga
pendekatan sejarah yang biasanya bersifat diakronis bisa bersifat sinkronis.
Dalam hal ini ilmu sosial dalam sejarah dapat terjadi empat hal yakni; pertama
konsep, kedua teori, ketika permasalahan keempat pendekatan. Dengan pendekatan
ilmu sosial keempat hal ini maka muncul sejarah yang antoposentris, sejarah
sosiologis dan sebagainya.
Sejarah sosial sering dianggap sebagai
sejarah baru,[38]
sejarah sosial merupakan kritik terhadap sejarah lama yang berfokus pada
politik dan sejarah orang elit. Namun sejarah sosial mencangkup orang-orang
pinggiran seperti kamu petani, buruh, kelompok-kelompok masyarakat kecil.
Kuntowijoyo banyak berbicara tentang petani, orang-orang terpinggirkan, maka
Kuntowijoyo termasuk sejarawan sosial.
Sejarah sosial sendiri merupakan gejala
baru dalam penulisan sejarah. Sejarah sosial membuat terobosan baru yang tidak
hanya mebahas persoalan politiik, namun memiliki cakupan yang luas. Mulai dari
sejarah cuaca, sejarah petani, sejarah ekonomi, sejarah keluarga, sejarah olah
raga, sejarah kehidupan seks, sejarah minuman kopi, sejarah gaya pakaian.
Tuisan Kuntowijoyo banyak memuatkan perhatian pada sejarah petani, dan kaum
marjinal, umumnya yang terpinggir dalam proses sejarah.
Meskipun sejarah dan ilmu-ilmu sosial
tidak dapat dipisahkan, namun sejarah dan ilmu-ilmu sosial memiliki tujuan yang
berbeda. Tujuan sejarah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, ediografis, dan
sekali terjadi. Sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik pada hal yang umum, ajek,
nomotetis dan merupakan pola. Pendektan sejarah dan ilmu sosial juga berbeda.
Sejarah bersifat diakronik sedangkan ilmu sosial berfisat sinkronik. Sejarah
lebih mementingkan proses sedangkan ilmu sosial mementingkan struktur.
Sejarah mempunyai kegunaan terhadap
ilmu-ilmu sosial dalam tiga hal yaitu, sejarah sebagai kritik terhadap
generalisasi ilmu-ilmu sosial, permasalahan sejarah dapat dijadikan permasalah
ilmu sosial, pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru
pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronik. Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu sosial
sangat berguna untuk sejarah. Dalam penulisan sejarah perlu menggunakan konsep,
teori, permasalahan dan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial.
Meskipun demikian, terdapat beberapa
variasi penggunaan ilmu-ilmu sosia dalam sejarah. Variasi tersebut ialah 1)
menolak sama sekali, 2) menggunakan secara implisit, 3) menggunakan secara
eksplisit. Ada juga variasi campuran dan kekaburan batas. Pihak yang menolak
penggunaan ilmu-ilmu sosiao berpendapat bahwa:
1. Menggunakan
ilmu sosial dapat menghilangkan jati diri sejarah sebagai ilmu yang diakui
keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan common
sense dan penggunaan dokumen secara kritis. Tanpa ilmu sosial sejarah dapat
menjadi dirinya sendiri. Sejarah harus mendekati objeknya tanpa prasangka
inteltual. Misalnya, tanpa konsep ilmu sosial apa pun kita tahu bahwa ada
revolusi antara tahun 1945-1950.
2. Penggunaan
ilmu sosia dianggap menjadikan sejarah sebagai ilmu tertutup secara akademis
dan personal. Sejarah bersifat multidisipliner jika dilihat dari sudut pandang
akademis. Dengan ilmu sosial sejarah akan kehilangan kemandiriannya sebagai the utimate interdisciplinarian.
Dengan demikian, penuisan sejarah tanpa
menggunakan ilmu sosial dapat ditulis dengan sangat baik. Namun mereka yang
tidak memakai ilmu-ilmus sosial pun setuju bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial
amat penting karena ilmu-ilmu sosial akan mempertajam insight sejarawan.[39]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan karya-karnyanya, Kuntowijoyo
merupakan sejarawan yang piawai. Kuntowijoyo merupakan sejarawan yang
memperkenalkan “sejarah baru” dan
“sejarah sosial”. Kuntowijoyo tidak hanya aktif menulis sejarah, namun juga aktif
menulis sastra dan cerpen. Kuntowijoyo mampu melangkah keluar batas-batas
konvesional dalam ilmu sejarah dengan menerapkan konsep sejarah masa depan.
Kuntowijoyo memandang sejarah sebagai
cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau di masa lampau. Pada
pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan
identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman
kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional dan
sekaligus identitas nasionalnya. Maka demikian Kuntowijoyo memandang sejarah
memiliki fungsi yang kompleks.
Tulisan sejarah Kuntowijoyo lebih
condong ke arah sejarah sosial, hal ini bisa dilihat dari karya-karya
Kuntowijoyo. Untuk menulis sejarah sosial, sejarawan memerlukan ilmu bantu dari
disiplin ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial. Meskupun ada sejarawan
yang menolak menggunakan ilmu-ilmu sosial, namun dalam faktanya ilmu-ilmu
sosial sangat membantu sejarawan dalam menulis sejarah.
Meskipun sejarah dan ilmu-ilmu sosial
tidak dapat dipisahkan, namun sejarah dan ilmu-ilmu sosial memiliki tujuan yang
berbeda. Tujuan sejarah mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, ediografis, dan
sekali terjadi. Sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik pada hal yang umum, ajek,
nomotetis dan merupakan pola. Pendektan sejarah dan ilmu sosial juga berbeda.
Sejarah bersifat diakronik sedangkan ilmu sosial berfisat sinkronik. Sejarah
lebih mementingkan proses sedangkan ilmu sosial mementingkan struktur.
Sejarah mempunyai kegunaan terhadap ilmu-ilmu
sosial dalam tiga hal yaitu, sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi
ilmu-ilmu sosial, permasalahan sejarah dapat dijadikan permasalah ilmu sosial,
pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu
sosial yang sinkronik. Begitu juga sebaliknya, ilmu-ilmu sosial sangat berguna
untuk sejarah. Dalam penulisan sejarah perlu menggunakan konsep, teori,
permasalahan dan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Subhan, Dr.
Kuntowijoyo. 1996. Al-Qur’an Sebagai
Paradigma, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol. V.
Driyarkara, dkk. (ed).
2006. Karya Lengkap Driyarkara; Esai-Esai
Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia.
Gerald L. Gutek. 1988. Philosophical and Ideological Perspectives
on Education. New Jesey: Prentice Hall
Hans-Georg Gadamer.
1979. Truth and Method. London: Sheed
and Ward.
Imam Muchlas. 2004. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan.
Malang: UMM Press.
Kuntowijoto. Islam sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi,
dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana
_________. 1991. Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi.Bandung: Mizan
_________. 1994. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogyakarta
_________.
1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
_________. 2001. Muslim
Tanpa Masjid. Bandung: Mizan.
_________. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta.
CV. Centra Grafindo
_________. 2008. Penjelasan Sejarah, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
_________. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Lorens Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.
M. Fahmi. 2005. Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak
Pemikiran Islam Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pilar Religia.
Ridwan Affandi. 2006. Ilmu sebagai lentera kehidupan.
Bandung: IPB Press.
Robert Audi. The
Cambridge Dicitonary of Philosophy. Edinburg: Cambridge University Press.
Roger Garaudy. 1986. Mencari
Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy. Jakarta: Bulan Bintang.
Suparlan Supartono.
2008. Filsafat Pendidikan. Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Wilhelm
Dilthey. 1961. Pateern and Meaning in
History, New York: Harper Torchbooks.
Sumber
Internet
https://id.wikipedia.org/w/index.php?search=leksi&title=Istimewa:Pencarian&go=Lanjut&searchToken=1krx9wfqzpofz34uwa4b0eies
(diakses tanggal 16 April 2018)
[1] Arif Subhan, Dr.
Kuntowijoyo: Al-Qur’an Sebagai Paradigma, dalam Jurnal Ulumul Qur’an No. 4 Vol.
V Th. 1994, hal, 36
[2]https://id.wikipedia.org/w/index.php?search=leksi&title=Istimewa:Pencarian&go=Lanjut&searchToken=1krx9wfqzpofz34uwa4b0eies (diakses tanggal 16
April 2018)
[4] M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak
Pemikiran Islam Kuntowijoyo, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005, hal. 32.
[5] Ibid., 33.
[6] Ibid., 33-34
[7] Ibid., 36
[8] Imam Muchlas, Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan,
Malang: UMM Press, 2004, hal 84
[11] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London: Sheed and
Ward, 1979, hlm. 213
[12] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta:
Tiara Wacana, Hal. 15-28
[13] Ibid, Hal. 66-68
[14] Ridwan Affandi. Ilmu
sebagai lentera kehidupan. Bandung: IPB Press, 2006, hal 1
[15] Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997, Hal 192-193
[16] Kuntowijoyo. Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. Hal 288-289
[17] Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), hal 106
[18] Driyarkara,
dkk. (ed), Karya Lengkap Driyarkara; Esai-Esai Pemikiran yang Terlibat Penuh
dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: Gramedia, 2006), 264
[20] Gerald L. Gutek,
Philosophical and Ideological Perspectives on Education, (New Jesey: Prentice
Hall, 1988), Hal. 4
[21] Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid. Hal 92
[22] Ibid. Hal 366
[24] Ibid. Hal 229
[27] Lorens Bagus., Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia,
1996, Hal. 1118-1119
[28] Robert Audi., The Cambridge Dicitonary of Philosophy.
Edinburg: Cambridge University Press, Hal. 807-808
[29] Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta:
Grafindo Litera Media, 2006, Hal 21
[34] Roger
Garaudy, Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger Garaudy (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), 261
[37] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Hal 83
[39] Ibid, hal 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar